Rani kembali
memeluk bingkai itu, erat. Ia masih belum percaya bahwa sosok yang sudah
setahun terpajang di dalamnya tak lagi bisa menemani hari-harinya. Semua
kenangan yang ditinggalkannya terlalu sulit untuk dilepaskan. Terlebih lagi
setiap 26 Januari tiba, ia selalu merasakan rindu menyelimuti sekujur raganya.
Baginya, rindu ini semacam sakit tak berpenawar. Begitu sakit, sebab merindukan
orang yang tak mungkin kembali hadir di kehidupan. Dan di subuh yang syahdu
ini, Rani kembali menengadahkan seluruh jiwanya, memanjatkan doa bagi ia yang
telah pergi, sekaligus mengucap syukur atas usianya yang bertambah satu lagi.
26 Januari 2012.
Rani terdiam nelangsa.
Pikiran kalutnya mengalahkan segala semangat yang biasa memenuhi jiwanya. Di
sepertiga malam itu, ia tak kuasa menahan kesedihan hingga tetesan air
dari matanya jatuh merintik lalu menderas di atas sajadah malamnya.
“Oh Tuhan, mengapa harus dia yang
merasakan? terlalu banyak pengorbanan
yang ia lakukan untukku. Tolong beri hamba kesempatan untuk membahagiakannya
lebih lama lagi.”
Beberapa bulan ini Rani memang
sangat hampa. Ia tak tahu lagi harus mengadu kepada siapa selain kepada Allah.
Baginya hal ini terlalu cepat. Terlalu dini untuk segera menamatkan kisah
bersama orang yang ia sayangi itu. Namun, Rani pun sadar, hal itu sudah menjadi
takdir yang terbaik bagi Fahmi, suaminya.
Rani segera membereskan hatinya yang
berantakan. Ia berbalik mengucap syukur masih diberi kesempatan untuk
menamatkan kisah ini denga persiapan yang indah. Rani pun sadar, sekarang bukan
saatnya menyesali keadaan, sebab semua sudah menjadi takdir bagi perjalanan
cinta mereka yang begitu singkat. Ia kini bertekad untuk selalu tegar di
hadapan pria yang sudah menemani hari-harinya dengan penuh kesabaran. Tak boleh
ada air mata untuk akhir yang indah, tekadnya.
Rani segera menyelesaikan
tahajudnya. Ia bergegas kembali ke kamar untuk kembali mengistirahatkan
tubuhnya sebelum subuh tiba. Namun, tiba-tiba air matanya tumpah lagi. Bukan
karena ia sedih, namun keharuan yang berpadu bahagia tak kuasa mencegah
kelenjar air matanya untuk bereaksi keras melaksanakan tugasnya.
“Selamat ulang tahun Rani. Semoga di
usia yang baru ini, kamu bisa lebih tegar dalam menjalani hidup. Berbahagialah
selalu dengan segala yang kamu miliki saat ini.”
Rani terpaku mendengar semua itu.
Kata-kata itu begitu deras mengalir dari bibir pria yang ada di hadapannya itu,
sederas air mata yang tumpah membasahi wajahnya tepat di hari ulang tahunnya
kali ini. Rani tahu betul bagaimana Fahmi tetap mencoba tersenyum di tengah
sakit yang menggerogoti tubuhnya. Rambut yang gugur sedikit demi sedikit, mata
yang sayu, serta tubuh yang tak lagi tegap berdiri tak membuatnya patah
semangat untuk sekadar mengucap selamat pada hari kelahirannya, sebagai tanda
betapa ia tak pernah lupa pada usianya yang bertambah satu lagi.