:: Juara III Lomba Cipta Cerpen Pekan Sastra 2011 ::
“Jo! Tunggu nak!”
Pekik Ibu Eda tatkala aku melintasi ruangannya. Ibu Eda merupakan guru BK yang akhir-akhir ini ingin aku hindari.
“Jo, sepulang sekolah nanti kamu jangan pulang dulu ya. Ada yang ingin Ibu sampaikan padamu”.
Jiah…lagi-lagi penyampaian. Aku tahu apa itu. Itu pasti tentang nasihat-nasihat agar aku menjadi begini menjadi begitu. Huhh,,,palingan hanya berisi ceracau Ibu Eda yang akan memekakkan telinga saja.
Teeettt,,,teeeett…teeettt…. Bel pertanda pulang pun berbunyi. Akhirnya lega bisa menyelesaikan jam pelajaran hari ini. Rasanya ingin cepat pulang merasakan atmosfer kamarku yang sederhana namun sangat nyaman kurasa. Tapi, aku teringat harus menemui Bu Eda dahulu. Dan benar saja, ia sudah menungguku di ruangannya.
“Permisi” Kataku, setelah mengetuk pintu.
“Ya, masuk Jo”.
“Hm…ada apa Bu, kok saya dipanggil ke ruang BP? Memangnya saya salah apa?” aku bertanya dengan penasaran karena memang aku merasa tak membuat kesalahan.
“Ada apa? Kamu bertanya ada apa?” Bu Eda mulai mengeluarkan gumamannya.
“Kamu belum sadar juga Jo? Mengapa kamu masih menyimpan masalah itu?”
Huh…sudah kuduga, pasti ia akan kembali mengungkit masalah itu. Tak ada yang lain, pasti masalah upacara bendera brengsek itu lagi. Huh,,,,,benciiiii…!
***
Namaku Johana. Tapi, aku akrab disapa Jo. Siswi kelas 1 SMA yang berpenampilan tomboy dengan tampang dewasa. Aku memang tak seperti siswi SMA yang lain, yang datang di sekolah dengan tas warna-warni, dengan sepatu bermodel lucu dengan rambut yang dihiasi bando atau pita-pita.
Sehari-hari aku menyandang ransel belel kesayanganku, dengan sepatu kets dan rambut dibiarkan tergerai seadanya. Aku tak terlalu betah jika berkumpul dengan teman-teman cewek yang hobinya cekikikan tak jelas di kantin. Aku lebih memilih ke perpustakaan sambil membaca-baca majalah terbaru terutama majalah politik. Nah, itu dia areaku. Seorang cewek yang lebih suka mengikuti perkembangan kasus Gayus atau Sri Mulyani. Bukan cewek yang suka membahas perkembangan Afgan atau perkembangan kasus Luna Maya.
Sehari-hari aku menyandang ransel belel kesayanganku, dengan sepatu kets dan rambut dibiarkan tergerai seadanya. Aku tak terlalu betah jika berkumpul dengan teman-teman cewek yang hobinya cekikikan tak jelas di kantin. Aku lebih memilih ke perpustakaan sambil membaca-baca majalah terbaru terutama majalah politik. Nah, itu dia areaku. Seorang cewek yang lebih suka mengikuti perkembangan kasus Gayus atau Sri Mulyani. Bukan cewek yang suka membahas perkembangan Afgan atau perkembangan kasus Luna Maya.
***
Siang itu aku keluar dengan tampang bête, sebete-betenya dari ruangan Ibu Eda. Ia benar-benar memperlakukanku bak tersangka kasus pembunuhan yang tengah menunggu vonis hukuman di kursi pesakitan. Ia mencecarku dengan berbagai pertanyaan basi dan tentu saja menghabiskan banyak waktu dengan nasihat basi!
Sebenarnya masalahku cukup simpel. Aku tak mau mengikuti upacara bendera di tiap senin itu. Terlihat sepele kan. Namun, hal tersebutlah yang membuat guru-guru macam ibu Eda menjadi semakin penasaran menaklukan ketidakbiasaanku itu. Ya, aku enggan bahkan katakanlah sangat enggan untuk mengikuti upacara bendera. Peristiwa ini berawal dari beberapa bulan lalu.
Aku yang saat itu merupakan siswi teladan sekolah selalu mengarahkan temanku untuk selalu menerapkan kedisiplinan. Salah satunya masalah upacara bendera. Pagi yang naas itu, seperti biasa di tiap seninnya sekolah kami mengadakan upacara bendera. Saat itu kelasku yang mendapat giliran menjadi petugas upacara. Terang saja hal ini membuatku sebagai ketua kelas menuntut kedisiplinan terhadap teman-temanku. Kupilih teman-teman yang memiliki potensi terbaik untuk menjadi petugas, hal tersebut tak lain dan tak bukan agar kelasku bisa tampil semaksimal mungkin.
06.30 waktu yang ku jadikan deadline bagi para petugas. Kali ini aku benar-benar serius. Termasuk pada Dea sahabat karibku. Semua petugas telah berkumpul sesuai waktu yang kutentukan. Tinggal Dea yang belum menunjukkan batang hidungnya. Akupun mengomel. Apa jangan-jangan karena dia merasa sebagai sahabatku, hingga dia bersantai-santai seperti itu. Akhirnya dengan menggerutu aku menghubunginya via sms. Tak berapa lama kemudian iapun membalas:
Iya, tggu bentar Jo. Aku masi nungguin motorku dulu, cz lg dipke bentar yak!
Huuufftt,,agak kesal sih. Tapi tak apalah, sama sahabat sendiri ini. Tapi tetap saja aku merasa tak enak hati sama teman-teman yang lain. Akhirnya kami memulai gladi agar tak membuang-buang waktu. Tiba giliran bagi pengerek bendera. Salah satu dari pengerek bendera adalah Dea. Dan dia belum tiba juga. Sontak saja hal ini membuatku geram. Apalagi setelah dia mengirim SMS yang bunyinya:
Jo, maaf ya. Aku datang telat ntar. Cz ortuku lg gak di rmh. Jd aku mw siapin sarapan adek2 aku dulu ya. Plissss…
Huhhh,,habis sudah kesabaran ini. Ku kira ia sudah berangkat sedari tadi. Ternyata Dea masih berada di rumahnya. Tanpa banyak cincong aku pun langsung menghubunginya via telepon.
“Halo” suara Dea mengangkat teleponnya.
“Dea, kamu udah di mana?”
“Duh, maaf Jo. Aku nyiapin sarapan adik aku dulu ya. Sekitar jam 07.00 aku nyampe”.
“What?! jam 07.00? Kamu gila ya Dea! Jam 07.00 itu upacara udah dimulai. Kamu tau kan tugas kamu sebagai apa. Kamu itu pengerek bendera. Dan itulah salah satu moment sakral yang fatal banget kalau terjadi cacat sedikit saja!”
“Tapi Jo, adik-adik aku gak ada yang ngurus. Mana masih kecil-kecil. Dan ortu aku lagi di luar kota Jo”
“Hah…emang gua pikirin! Denger ya Dea, jangan mentang-mentang kamu sohib aku,,kamu bisa seenaknya mengabaikan peraturan. Sekali jam 06.30 ya 06.30, gak usah ditawar lagi. Kita kan udah sepakat bareng kemarin”.
“Iya, tapi orang tua aku berangkatnya mendadak, jadi aku gak bisa melawan juga Jo”
“Terserah. Yang pasti kamu udah mengecewakan aku. Gak professional. Huhh!” sembari aku mematikan telepon.
***
Waktu menunjukkan hampir pukul 07.00. Saatnya upacara bendera akan dimulai. Namun, Dea tak kunjung tiba. Hal ini semakin membuatku gusar.
“Dea mana sih?”
“Tenang Jo, bentar lagi dia pasti datang. Barusan dia SMS kalo dia udah diperjalanan”.
“Ya, semoga saja”, kataku datar. Kali ini aku benar-benar kesal dengan tingkah Dea.
Teett…teeett…teeeett….. Bel pertanda upacar pun berbunyi. Dan Dea belum juga tiba. Arrgghhhhh…..Dea keterlaluan. Sudah ku SMS, tapi tak dibalas. Beberapa teman menghubunginya, tapi tak diangkat. Anak itu kenapa sih. Dea betul-betul mengacaukan semuanya!
07.15 upacara dimulai. Tanpa Dea. Aku begitu sebal terhadapnya. Entah akan seperti apa kemarahanku padanya. Yang pasti aku akan mengikuti upacara ini dengan khidmat bersama teman-teman yang lain. Dan arahan terakhir kepada teman-temanku:
“Guys,,,nonaktifkan HP kalian. Ikuti upacara dengan khidmat dan sungguh-sunguh”, kataku tegas.
***
Beberapa saat kemudian upacara pun usai. Dan Dea belum menampakkan batang hidungnya. Aku muak terhadapnya. Yang pasti aku tak akan berbicara dengannya untuk beberapa saat. Namun, ternyata ucapanku menjadi nyata. Bahkan bukan hanya untuk beberapa saat aku tak akan berbicara dengan Dea. Tapi untuk selamanya. Ya selamanya aku tak akan mendengar tawanya, tak akan melihat senyumnya, tak akan merasakan perhatiannya, karena sesaat setelah aku mengaktifkan HP, masuklah SMS yang berbunyi:
Bwt semua teman-teman kak Dea, kami dari pihak keluarga memohon maaf kalo Dea punya salah. Doakan semoga jalannya lapang menuju pangkuan YME. Kak Dea udah tiada, ia mengalami kecelakaan saat berangkat ke sekolah td pg. Mohon doanya semua. Thanks.
Lutut, tangan, badanku semua gemetar. Kurasakan pilu yang mendalam menusuk hatiku. Peluh mengucur dari seluruh sendi tubuhku. Rasanya aliran darahku juga terhenti seketika. Jantungku berdebar hebat, mataku entah mengeluarkan cairan apa, telinga, mulut, hidung kurasakan dimasuki angin-angin kepiluan. Ingin aku teriak namun tak bisa, napasku memburu, ingin berlari melihat sosok Dea, jiwaku meronta, batinku seakan jauh. Aku meronta,,berusaha mengeluarkan suara,,,aku teriak…teriak semampuku, teriak penuh sesal, teriak dengan amarah teriak….teriak…..teriak…aaaarrrgghhhhh…………… dan dunia pun gelap!
***
07.00 tepat di hari Senin. Aku sudah berada di bangku kelasku. Aku duduk tenang, sembari memperhatikan tingkah polah konyol yang ditampilkan teman-temanku. Tak kusangka selama ini sia-sia aku mengikuti upacara sejak di bangku SD hingga SMA saat ini. Sudah berapa senin yang kami lewatkan dengan berdiri sia-sia. Ya, aku menyebutnya sia-sia. Sebenarnya esensi upacara bendera itu apa, mengapa sampai detik ini siswa-siswa masih saja harus menampilkan tingkah konyol ketika harus mengikuti upacara.
“Huh, tolong pakein dasi dong”
“Eh,,,topi aku mana?”
“Woii,,, baju kamu masih di luar. Masukin dulu, ntar ketahuan guru, kena lagi dah!”
Ckckk,,,konyol bukan? Bertahun-tahun, masih saja ada yang gak bisa memakai dasi, ada yang lupa topi, bahkan ada yang tidak memasukkan bajunya. Padahal hal itu semua adalah suatu hal yang telah diajarkan sejak kita kecil. Tapi nyatanya, kesadaran untuk senantiasa menerapkannya dalam kehidupan bisa dikatakan nonsens! Mereka melakukan semua aturan, bukan karena kesadaran, melainkan takut mendapat sanksi. Ya, inilah wajah pelajar kita, calon pemimpin bangsa. Entah akan jadi apa bangsa ini nanti.
Apalagi upacara bendera. Muak aku pada kegiatan itu. Kegiatan berdiri sia-sia yang terus dilestarikan hingga saat ini. Apa hasilnya membuang waktu selama 30 menit hanya untuk berdiri di terik mentari sambil menunggu merah putih dinaikkan sampai ke puncak tiang bendera. Huh, palsu. Hormat saja kita tidak becus, apalagi meresapi makna dalam upacara itu. Terlebih lagi akibat upacara itulah aku kehilangan Dea.
***
Semua siswa telah berkumpul di lapangan. Dari atas aku memperhatikan tingkah mereka satu-satu. Ada yang cekikikan, ada yang main HP, ada yang onlaind, dan segala perbuatan yang menurut mereka keren, karena bisa melanggar aturan. Bangga sekali mereka ketika bisa melanggar aturan secara sembunyi-sembunyi. Padahal mereka tak tahu merekalah pecundang sejati, orang munafik yang sok ikut aturan, namun melanggarnya di belakang layar. Mengapa tidak berani mengatakan saya malas ikut upacara! Tidak ada yang berani bukan? Karena mereka munafik. Sok ingin melanggar aturan, tapi beraninya di belakang, agar tetap terlihat anak baik-baik!
Ketika sedang asyik melamun, sesosok wanita membuyarkan lamunanku.
“Jo”, sapa Ibu Eda sambil menepuk pundakku.
“Eh, iya Bu.” Jawabku dengan ekspresi kaget.
“Kamu belum berubah ya. Masih enggan mengikuti upacara. Selamanya akan begini?”
Lagi-lagi Bu Eda mencecarku dengan kalimat rayuannya, berharap aku mengikuti upacara.
“Bu, apa yang sebenarnya kita lakukan? Lihat, bukankah mereka munafik? Dihadapan kalian, mereka seperti anak manis yang rajin mengikuti upacara bendera. Menghayati setiap proses sakral dan bermakna di tiap upacara. Namun, lihat itu bu, mereka munafik. Mereka melanggar semua aturan, memasang tampang polos dan penurut, padahal di belakang kalian mereka berhore-hore, tertawa girang karena merasa telah berhasil membodohi orang tua mereka. Mereka bangga ketika upacara digelar, mereka bisa bercerita, mereka bisa ngobrol, mereka bisa menjelajahi dunia maya, mereka bisa menghayal dan tak mendengar ocehan yang bagi mereka tak bermakna”.
“Lantas, apa hubungannya dengan alasan kamu tidak mau mengikuti upacara. Apa kamu membenci upacara hanya karena peristiwa menyangkut Dea?”
“Itu hanya sebagian kecil Bu. Saya merasa muak, jenuh dengan semua kepura-puraan ini. Saya tidak habis pikir, kita kaum terpelajar yang dididik sejak kanak, bisa sekeji ini. Jangankan upacara, lihat saja ujian kita. Benar-benar tidak berguna. Tak usah dibahas, rasanya hal itu sudah menjadi rahasia umum. Palsu. Pantas saja nasib pendidikan kita berada jauh dengan negara lain”. Tak terasa aku mulai bisa mengeluarkan berbagai uneg-uneg dalam hatiku.
“Jo, Ibu mengerti maksudmu”. Bu Eda mulai mendekati aku dengan lembut.
“Tapi, kita hendak melakukan apa? Kita hanya kaum kecil yang rapuh. Susah jika kita hanya mengharapkan orang berubah. Satu-satunya cara hanyalah memulai dari diri kita Jo.”
“Tapi bu, itu hanya pendapat bija yang kuno. Mustahil, jika hanya kita yang berubah. Toh rang tetap tidak akan berubah jika melihat kaum minoritas apalagi dalam jumlah sedikit kan. Pasti orang akan menoleh jika mereka melihat sesuatu dalam jumlah banyak. Semakin banyak, semakin meyakinkan bahwa hal tersebut keren. Dan celakanya orang di negara ini hanya suka hal keren. Dan upacara sama sekali tidak keren, ia membosankan dan penuh kepura-puraan serta munafik. Hm,,maaf, saya tak yakin para pesohor yang melakukan upacara mampu meresapi makna upacara ketika melakukannya. Saya bersedia membuktikannya Bu.”
“Ha,,,ha,,,ha,,,”
“Bu, saya serius!!”
“Iya Jo. Ibu paham dengan maksudmu. Tahukah kau, kalau saya pun pernah berpikiran seperti kamu. Tapi, apa yang dapat saya lakukan? Berdemo? Atau menemui pak presiden pun rasanya tak akan berpengaruh.”
“Lalu, apa yang Ibu lakukan?”
“Ibu larut dalam kegelisahan itu. Bertahun-tahun Ibu hanya bisa menjadi manusia pengecut yang hanya bisa memendam kedongkolan akibat kepura-puraan itu sambil tersenyum. Celakanya, Ibu malah ikut-ikutan menjadi manusia munafik itu. Di depan, berlagak menjadi siswa teladan yang bangga mengikuti upacara, namun di belakang tertawa bangga bisa melanggar semua aturan, seakan kita lah yang terhebat, kita yang terpandai, kita yang tercerdik, padahal dibalik itu semua kita lah manusia paling hina, karena hidup dengan kepura-puraan dilapisi topeng yang polos.”
“Lalu? Ibu tidak berusaha keluar dari kegelisahan itu?”
“Justru itu Jo. Tadi ibu akhirnya merasa bisa keluar dari kegelisahan itu.”
“Maksud Ibu?”
“Jo, memang benar, kita tidak mudah mengubah pemikiran seseorang mengikuti pemikiran kita. Apalagi kita datang dari kaum minoritas yang jumlahnya secuil. Namun, tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Bertahun-tahun, Ibu hanya bisa menanti orang-orang akan mengikuti pikiran Ibu. Ketika mereka sibuk melanggar berbagai aturan, Ibu tetap percaya diri untuk tetap mematuhi semua aturan. Tahukah kamu cibiran dan remehan kepada Ibu datang bertubi-tubi. Justru mereka mengatakan hal itu munafik! Kejam bukan? Tapi hari ini, akhirnya Ibu merasa apa yang Ibu lakukan mulai terjawab.
“Terjawab bagaimana?”
“Dengan kamu.”
“Saya? Apa yang saya laukan?”
“Ya, buktinya, Ibu telah menemukan orang yang mempunyai pemikiran sama dengan Ibu. Dulu Ibu berpikir benar-benar sendiri. Namun, kini Ibu sudah punya kawan untuk melangkah ke satu tingkat yang lebih dari sebelumnya. Dan itu adalah kamu, Jo”
“Maksud Ibu?” aku bertanya dengan penuh kebingungan.
“Jo, kita memang tak bisa sekejap mengubah pola pikir orang-orang munafik itu. Awalnya Ibu pun ragu, kapan Ibu akan melihat satu saja anak bangsa yang bisa jujur jika ia tidak mau mengikuti upacara. Dan akhirnya Ibu tertawa, Ibu telah dipertemukan dengan mu Jo.”
“Lantas kalau kita bersatu, apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah orang-orang itu?”
“Kita tak perlu mengubah mereka Jo. Yang harus kita lakukan hanyalah percaya dan semakin percaya dengan diri kita. Tak usah peduli apa yang orang cibirkan kepadamu Jo. Teruslah bertindak dengan hati yang paling jujur, bahwa kita berani maju menatap dunia dengan mematuhi segala aturan yang telah dibuat. Bagaimana kita mampu membuat orang mempercayai omongan kita, jika kita saja tidak percaya pada diri kita. Itu intinya Jo! Mulai saat ini, lakukan semua yang menurut kamu benar. Entah kamu dibilang kuper, entah kamu dibilang cupu, sok baik,sok disiplin, jangan peduli dengan mereka. Karena kamu tahu merekalah yang merugi. Mereka yang tidak sadar sedang menjerumuskan diri ke dalam jurang kebodohan yang paling hina.”
Sekejap ada semangat yang merasup dalam dada ini. Aku mulai ingin menunjukkan bahwa aku tak sendirian. Aku punya teman yang dapat kugenggam tangannya untuk bersama melangkah mengubah pemikiran orang-orang munafik yang sok pintar karena berhasil melanggar aturan itu. Orang-orang yang sok baik, sok polos dan sok lugu mengikuti semua tata tertib padahal justru mereka yang paling merendahkan aturan itu. Merekalah justru orang intelek, orang yang dididik sejak kecil hingga dewasanya. Orang yang mengaku berpendidikan, yang sudah merasa pintar lantaran mendapat nilai bagus di ijazahnya. Sedih rasanya melihat mereka melakukan hal tersebut di lembaga yang dekat dengan pendidikan. Di sekolah, di kegiatan upacara bendera.
Entah sejak kapan, yang pasti aku tengah berjalan bergandeng tangan bersama Ibu Eda. Menuruni tiap anak tangga dengan penuh semangat mengikuti upacara tentu saja dengan mematuhi semua peraturan. Tak peduli dengan mereka yang meremehkan aku, mencibir aku dengan hina. Aku tak perlu menyadarkan mereka, sebab mereka sudah dewasa, mereka sudah mampu berpikir, dan mereka sudah dibekali pendidikan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Biarlah aku sendiri yang mungkin akan tetap menuruti aturan ini. Yang pasti aku percaya, Tuhan telah menyediakan satu mutiara di antara genangan lumpur. Karena mutiara lahir dari lumpur yang hitam. Dan ketika aku berhasil bangga mematuhi aturan itu, maka akulah mutiara dan merekalah lumpur hitam itu. Uapcara bendera, mungkin satu hal kecil dalam kehidupan kita. Namun, kita tak sadar justru hal kecil itulah yang menjadi salah satu indikator bahwa kita telah menjadi manusia yang dididik dan dibina untuk mematuhi peraturan. Peraturan disegala dimensi, termasuk pemikiran kita tentang arti penting aturan pendidikan.
2 komentar:
Owh, ini pemenang 3 Pekan Sastra tempo hari? Congrutulation anyway
Salam kenal! Blog walking nih ^_^
hihhii iyah alhmdlh.dpet juara III
hemm,,,kita yg juara I bukan????
Posting Komentar