JUDUL ARTIKEL :
PENGEMBANGAN GURU YANG BERMORAL
OLEH :
EKA CAHYOWATI
A1 D1 08 077
MAHASISWA UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI
Abstrak : Pendidikan merupakan suatu hal penting yang dapat kita jadikan sebagai dasar atau pondasi kita dalam menjalani hidup. Pendidikan merupakan salah satu penuntun arah bagi kita dalam menentukan seperti apa kehidupan kita di masa yang akan datang. Kita sebagai generasi muda seharusnya prihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus bangsa Indonesai saat ini yang lahir, hidup dan dibesarkan di dalam Negara Indonesia ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang mungkin terjadi walaupun akan memakan waktu agak lama.
Kata Kunci : pendidikan, bermoral, jujur, kualitas, profesionalisme,guru.
Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangkan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Sehingga dapat saja kita katakana bahwa apa yang telah terjadi pada bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengabaikan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tidak sombong serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau suatu kelompok. Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislatif, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, anggota dewan bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu. Bagaimana masyarakat dapat melihat contoh yang baik, sedangkan dalam contoh kecil saja para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan dan panutan malah berlaku layaknya orang yang tidak berpendidikan. Bagaiman mereka mampu memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak.
Jika demikian yang terjadi, maka mungkin saja pendidikan kita mempunyai sesuatu yang salah di dalamnya. Kalau begitu, seandainya memang ada suatu kesalahan, berarti perlu diadakan perubahan di dalamnya. Lalu perubahan seperti apa yang perlu dilakukan untuk membenahi kesalahan(yang mungkin saja) di dalam pendidikan tersebut? Menurut saya, perubahan-perubahan itu pun tak menunjukkan kemajuan. Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak bermaksud menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Lihat saja saat ini dengan ditambahnya biaya operasional untuk sekolah, namun masih banyak sekolah-sekolah yang jauh dari fasilitas yang diharapkan. Belum lagi omongan-omongan di luar sana yang negatif tentang adanya penyelewengan dana untuk anggaran pelaksanaan kegiatan Ujian Nasional. Namun, semua itu tentu perlu bukti dan penyelidikan lebih jauh lagi.
PERLAKUAN GURU DALAM MENDIDIK MURID-MURIDNYA
Selama ini guru selalu menjadi sosok yang berakhlak mulia di mata murid-muridnya. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik sudah seharusnya kita menunjukkan citra seorang pendidik yang dapat memberikan nilai positif terhadap murid-murid kita, bahkan siapapun orang-orang yang berada di sekitar kita. Sebenarnya banyak hal yang harus disadari oleh para pendidik tersebut. saya merasa perlu untuk menyinggung hal ini di dalam tulisan ini, apalagi saya sebagai seseorang yang menempuh pendidikan di bidang keguruan yang suatu hari akan menjadi seorang pendidik juga. Saya merasa sudah seharusnya kita (saya dan rekan-rekan mahasiswa lain di FKIP) harus sadar diri, bagaimana sebaiknya perilaku yang harus dimiliki oleh seorang calon pendidik di masa datang, jika memang kita ingin mencetak generasi penerus yang bermoral, berakhlak mulia, memiliki etika, sopan santun, jujur, bertanggungjawab dan sebagainya.
Banyak contoh kejadian yang dialami oleh peserta didik yang dilakukan oleh gurunya sehingga membuat mereka menjadi pribadi yang negatif. Dalam hal ini saya sama sekali tidak bermaksud menyalahkan guru atau birokrat pelaksana pendidikan lainnya ataupun pihak manapun. Saya hanya bermaksud ingin menunjukkan sebagian kecil contoh tindakan guru yang sebenarnya patut untuk kita hindari.
Contoh yang sering kita lihat adalah adanya perlakuan kurang adil terhadap seluruh siswa. Memang bukan suatu hal mudah untu berlaku adil dan bijak kepada banyak individu dalam suatu posisi. Namun, jika kita berbicara dalam konteks “kelas”, maka banyak waktu yang digunakan untuk beberapa kali pertemuan. Mulai dari sekolah paling dasar, hingga berlanjut ke jenjang menengah atas, seringkali kita mendapat perlakuankurang adil dari guru. Misalnya siswa yang disuruh untuk mencatat di papan tulis atau disuruh untuk mengerjakan soal hanyalah siswa yang pintar saja, atau lebih dikenal oleh guru. Merekapun dikenal karena suatu hal, misalnya karena dia anak orang berada, atau mungkin memiliki hubungan kekerabatan dengan sang guru. Sah-sah saja memang. Namun, apakah ini tidak menimbulkan rasa minder bagi siswa yang kurang mampu dan berada di bawah anak yang sering mendapat perhatian tadi?
Dengan contoh ini, saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, mungkin saja pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena kemampuan kita tentu tidak sama dengan kemampuan orang-orang di Negara lain. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang cukup aneh dan terkesan agak parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jarak jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, menyuap untuk jadi pegawai negeri atau menyuap untuk naik pangkat dan sebagainya. Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu menyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Kemudian kecurangan-kecurangan yang terjadi pada ujian nasional yang turut memberi pengaruh kurang baik terhadap perkembangan mental anak. Rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam ujian nasional berbagai macam kecurangan telah terjadi di sana. Bahkan setiap tahun pemerintah berupaya mencari cara agar ujian nasional berlangsung murni. Namun upaya tersebut terkesan sia-sia belaka, karena menurut saya pemerintah agak kurang serius menghadapi permasalahn ini, dan tentu saja sanksi bagi oknum-oknum pelkau kecurangan kurang tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Seharusnya tidak usah ada kebijakan, beri saja hukuman seberat-beratnya kepada oknum yang berlaku curang. Sebagian besar masyarakat kita mungkin kurang menanggapi serius permasalahan kecurangan ini, namun sesungguhnya ini merupakan masalah kecil yang berdampak berkelanjutan bagi pendidikan peserta didik selanjutnya. Bayangkan sedari duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah diajarkan pendidikan moral dalam mata pelajaran PPkn, dimana di dalamnya kita diajarkan untuk berperilaku jujur dan berakhlak mulin. Kemudian ditambah lagi dengan pelajaran agama, yang sudah tentu memberi bekal kepada kita untuk selalu berbuat baik dan jujur. Namun ketika ujian tiba, para guru langsung menghapus semua apa yang telah mereka ajarkan sendiri, yaitu dengan mencoba memeberi jawaban kepada murid-muridnya, kemudian yang lebih parahnya para murid tersebut dilarang memberi tahu pihak luar tentang bantuan tersebut. alasan mereka tentu saja ingin membantu muridnya. Namun tentu akan terjadi suatu pembelajaran baru bagi para murid tersebut yaitu ketidakjujuran. Jadi bukankah sia-sia semua yang diajarkan selama bertahun-tahun tersebut? seakan teori hanya bualan, karena yang terpenting adalah praktek di lapangan. Dan kejadian tersebut sudah membiasakan siswa untuk berbuat curang sejak dini sekaligus dimanjakan oleh para pendidik kita. Sebenarnya pentingkah Nilai akhir pada ujian nasional ditingkatkan terus menerus setinggi mungkin hingga sama dengan standar nilai ujian di Negara lain namun sebenarnya nilai tersebut bukan berasal dari kerja keras siswa itu sendiri? Menurut saya perilaku seperti ini sama dengan sia-sia belaka. Mungkin niat dan usaha Negara kita baik, agar siswa lebih meningkatkan cara belajar mereka, namun ada yang harus di perhatikan, apakah cara belajar yang meningkat atan cara untuk melakukan kecurangan yang semakin meningkat? Tanpa bermaksud menggurui atau sok benar, saya merasa sudah saatnya pemerintah untuk segera membenahi system pendidikan kita ini. Karena sangat-sangat kacau dan tidak teratur. Carut marutnya pendidikan kita dapat dilihat dari hasilnya. Para pejabat yang menjadi pemimpin kita sudah tentu menunjukkan perilaku mereka yang banyak mengecewakan masyarakat. Menipu masyarakat, memakan uang rakyat, bertindak seenaknya, dan jauh dari kesan orang-orang yang berpendidikan. Seharusnya dengan komplitnya mata pelajaran yang di dapat sedari dini hingga dewasa, dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkepribadian jujur, bermoral, tindakannya terpuji, mempunyai sopan santun baik dalam tutur maupun tindakan, beretika, mempunyai malu, dan jauh dari kemunafikan. Rasanya tidak berlebihan jika kita ingin memiliki para pemimpin dengan sifat-sifat seperti tadi, tentu saja agar pengembangan kualitas negara kita dapat unggul, sehingga mampu menjadi negara yang sejajar dengan bangsa lain dengan akhlak yang terpuji di mata dunia. Bukankah kita di kenal sebagai negara yan santun, yang beretika dan bermoral dengan adapt istiadat yang bersifat ketimuran. Seharusnya itu menjadi kekuatan bagi kita untuk kita unggulkan dari negara-negara lain.
SIMPULAN :
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor penting bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan saat ini menuntut adanya manajemen pendidikan yang baik dan profesional dengan bernuansa pendidikan dengan moral yang baik pula.
Kemerosotan pendidikan bukan sepenuhnya diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan, salah satunya dengan penerapan akhlak dan moralitas yang baik.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh tingkah lakunya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan kesediaan dan kemampuan baik secara intelektual maupun pada kondisi lain yang turut mempengaruhi hasil usaha. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus dan dilakukan sepenuh hati dengan tulu ikhlas.
Apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekuensinya, semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislatif, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
DAFTAR RUJUKAN
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip.(www.artikel Indonesia.com)
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News)
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
0 komentar:
Posting Komentar