Keluarga merupakan harta yang
tak bisa ditukar dengan apapun di dunia ini. Ialah harta paling berharga yang
pernah kita miliki. Di luar sana banyak orang-orang yang kurang beruntung, di
mana mereka tak memiliki keluarga yang utuh bahkan ada pula yang tak mengetahui
keberadaan keluarga mereka. Oleh karena itu saya sangat bersyukur kepada Tuhan
atas nikmat keluarga yang diberikan kepada saya, karena meski tak sehebat
orang-orang, namun saya memiliki keluarga yang cukup utuh dan harmonis.
Saya adalah sulung dari tiga
bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Jarak usia kamipun sangat
berdekatan, sehingga membuat kami tumbuh bersama-sama dan selalu kompak. Kami
sudah dibiasakan untuk bersama dalam hal apapun. Mulai dari bermain, berangkat
sekolah hingga pulang sekolah pun harus bersama-sama.
Satu kejadian yang tak akan pernah
saya lupa yaitu ketika saya duduk di kelas 5 SD. Waktu itu saya
diajak oleh
Intan teman saya untuk bermain ke rumahnya sepulang sekolah. Sebelumnya Intan
sudah beberapa kali mengajak saya ke rumahnya, maklum saja dia merasa kesepian
karena ia merupakan anak tunggal. Jadi ia selalu mengajak teman-temannya untuk
menemaninya di rumah. Namun saya tak pernah mendapat ijin dari ibu, karena
rumahnya itu harus menyeberang jalan raya. Ibu sangat khawatir, karena banyak
kendaraan, namun entah mengapa hari itu saya sangat ingin bermain ke rumah
Intan. Kebetulan waktu itu kami dipulangkan lebih awal. Dalam pikiran saya,
saya bisa bermain beberapa jam dan pulang ke rumah pada saat jam pulang sekolah
seperti biasanya. Saya berpikir harus mengajak kedua adik saya, karena jika
mereka pulang lebih dulu pasti ibu saya akan mengetahui kalau saya singgah di
rumah Intan. Akhirnya kami bertiga pun pergi ke rumah Intan. Intan dengan
senang hati, apalagi jam segitu orang tuanya tidak berada di rumah.
Kami sampai di rumah Intan dengan selamat.
Sebenarnya perasaan cemas menyelimuti hati saya. Kalau sampai ketahuan ibu
pastilah saya akan dimarahi. Namun saya tidak ingin merusak suasana waktu itu.
karena jarang-jarang saya bisa bermain di rumah teman sepulang sekolah. Entah
mengapa jika kita singgah bermain sepulang sekolah ada perasaan yang beda denga
ketika kita senagaja datang bermain.
Ketika sedang asyik bermain.
tiba-tiba telepon rumah Intan berdering. Permainan kamipun terhenti sejenak.
Intan lalu mengangkat teleponnya. dan yang membuat saya kaget, ternyata itu
telepon untuk saya. Dengan perasaan dag dig dug saya meraih gagang telepon itu.
Saya pun mulai berbicara di telepon tersebut. Dengan nada khawatir bercampur
marah saya mendengar dengan jelas suara ibu yang menyuruh saya untuk segera
pulang. Akhirnya dengan wajah tegang saya dan adik-adik segera berpamit untuk
pulang. Sebenarnya jarak rumah saya dan Intan tidak begitu jauh. hanya saja kami
harus melintasi jalan raya, dan itu penyebab utama mengapa ibu selalu melarang
saya bermain ke rumah Intan.
Baru beberapa meter dari rumah
Intan, saya sudah melihat sosok ibu yang ternyata datang menjemput kami.
Rupanya ibu benar-benar tidak tenang memikirkan kami bertiga yang harus
menyeberang jalan raya. Ekspresi ibu waktu itu sungguh marah. Saya pun tidak
berani menatap wajahnya.
Sudah saya duga ibu akan marah. Dalam perjalanan menuju rumah nyaris tak berhenti ibu mengomel. Rasanya saya ingin bersembunyi, ingin berlindung pada seseorang. Saat seperti itu saya biasanya berlindung pada ayah, karena jika ibu sedang marah, biasanya ayah yang akan membela, begitupun sebaliknya jika ayah marah ibu yang akan membela. Namun, jam segitu ayah pasti tak ada di rumah, karena jam pulang kantor ayah adalah sore hari. Waah...kaki pun sangat berat melangkah, rasanya saya lebih baik berjalan tiada henti daripada harus sampai di rumah. karena jika sudah sampai, saya pasti akan merasakan cubitan ibu!
Sudah saya duga ibu akan marah. Dalam perjalanan menuju rumah nyaris tak berhenti ibu mengomel. Rasanya saya ingin bersembunyi, ingin berlindung pada seseorang. Saat seperti itu saya biasanya berlindung pada ayah, karena jika ibu sedang marah, biasanya ayah yang akan membela, begitupun sebaliknya jika ayah marah ibu yang akan membela. Namun, jam segitu ayah pasti tak ada di rumah, karena jam pulang kantor ayah adalah sore hari. Waah...kaki pun sangat berat melangkah, rasanya saya lebih baik berjalan tiada henti daripada harus sampai di rumah. karena jika sudah sampai, saya pasti akan merasakan cubitan ibu!
Namun ada hal lucu dalam perjalanan
itu. Ibu yang sedang mengomel, tiba-tiba terhenti. antara percaya dan tidak
saya seperti melihat gulungan uang di jalan tersebut. Setelah saya amati
ternyata benar, itu adalah gulungan uang. Uang itu berjumlah tujuh ribu rupiah.
Jumlah yang cukup banyak waktu itu. Sejenak saya merasa lega karena amarah ibu
sedikit teralihkan. Kesempatan itupun memang saya jadikan momen untuk meredam
amarah ibu. ibu pun langsung mengatakan untuk menyimpannya di kotak amal
masjid, karena menurut ibu jika kita menggabungkan uang yang kita dapat secara
tidak sengaja, maka uang kita bisa ikut menghilang. Padahal saya tahu itu hanya
sebuah mitos. Namun, karena cuaca cukup panas, saya meminta pada ibu untuk
membelikan separuh uang tersebut untuk membeli es. Akhirnya ibu pun menyetujui
dan menyuruh saya segera pulang jika sudah menyimpan sisa uang tersebut di
kotak amal masjid.
Dalam hati saya masih ragu,
kira-kira amarah ibu sudah reda ataukah masih akan berlanjut. Sesampai di rumah
saya cukup lega karena melihat ada motor ayah. Terkadang ayah memang pulang
untuk makan siang. Dalam hati saya bertambah girang, karena jika ibu marah
berarti ada ayah yang akan membela saya. Saya sengaja masuk lewat pintu
samping. Dengan sedikit mengendap-endap saya memasuki rumah. Namun, baru sampai
di ruang tengah saya sudah dipanggil ibu. Yah, kena deh. Di situlah saya di
marahi. Berbagai omelan dan uneg-uneg yang ibu pendam sedari tadi diluapkan. Rupanya
ayah pun pulang bukan untuk makan siang, namun karena memang ditelepon ibu,
karena ibu sangat bingung hendak kemana lagi mencari kami bertiga. Rupanya ibu
mengetahu bahwa kami dipulangkan lebih awal, karena melihat teman kami yang melintas
di depan rumah. Bisa dibayangkan bagaimana kecemasan ibu. Lalu ibu pun
menghubungi ayah karena pikirannya sudah tidak tenang. Akhirnya ayah lah yang
berinisiatif menghubungi teman-teman kami.
"sudah
berapa kali ibu bilang, jangan suka singgah-singgah kalau pulang sekolah.
pulang sekolah ya langsung di rumah. apalagi singgah di rumah Intan. itu bahaya
kalau anak-anak menyeberang. banyak kendaraan eka! apalagi kamu ajak dengan
adik-adik, bikin ibu khawatir. bagaimana kalau kalian diculik? ibu khawatir
eka. Ibu tidak tenang di rumah ini!"
Ibu mengomel
sejadinya. kala itu, itulah amarah ibu yang paling besar.
Saat itu ayah pun tidak membela
saya, karena ayahpun sebenarnya marah karena tindakan saya kali itu sangat
keterlaluan. Namun ayah terlihat menahan amarah, saya tahu ayah sangat ingin
membela, namun ia juga seakan ingin memberi saya peringatan. Beberapa saat
kemudian ayahlah yang meredakan amarah ibu dan menyuruh kami berganti pakaian
dan makan siang.
Sejak saat itu, saya tidak berani
lagi singgah ke rumah teman. Kecuali saya minta ijin terlebih dahulu, itupun
hanya boleh jika ada tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama. Memang
sebaiknya kita harus selalu menuruti perkataan orang tua karena semua yang
mereka lakukan demi kebaikan kita.
0 komentar:
Posting Komentar