Langit masih membiru ketika pagi
menyapa kampus bumi tri dharma Unhalu. Kampus yang belakangan rajin tampil di
TV ini terlihat masih lengang ketika jarum jam menunjuk di 06.00 wita. Nampak
beberapa pria berbadan tegap berlari-lari ringan sekedar mengundang keringat
membasahi tubuh mereka. Nampak pula perempuan paruh baya yang tengah menata
ulang halaman kampus agar terlihat rapi dan bersih.
Pagi itu Hamid telah rapi. Tubuh
cungkringnya telah dibalut kemeja licin dan celana kain yang telah kinclong
tekena mulusnya pipi setrika. Hamid mahasiswa baru yang tengah mencari jati
diri untuk siap menancapkan kukunya di blantika pendidikan Unhalu. Ia memang
bertekad menjadi mahasiswa luar biasa yang kelak menjadi kebanggaan semua
orang.
“Hamid, mau kemana ko…pagi-pagi
sudah rapi pet.”
“Hamid mau menimba ilmu yang insya Allah
mengantar Hamid pada kesuksesan ya Akhi.”
“Heh, gayamu situ. Paling juga jam
segini belum ada yang muncul. Telat-telat saja bodo.”
Teguran dari kawannya memang sedikit
menciutkan langkahnya. Namun, ia kembali pada tujuannya semula. Pagi itu akan ada
rapat kepengurusan dalam salah satu lembaga dakwah yang ada di kampusnya.
Sebagai pengurus baru, semangat Hamid masih membara. Ibarat permainan, semangat
Hamid kini berada di
level puncak. Pokoknya ia akan mengemban amanah yang
dipegangya dengan sebaik mungkin. Jadwal rapat 06.30, namun ia sengaja datang
sebelum waktu karena tidak ingin telat mengikuti agenda hari itu.
Hamid memantapkan langkahnya.
Senyumnya terus mengembang seiring derap langkah dari kost-kostan menuju
kampus. Dalam benaknya, ia akan mengikuti satu moment yang keren, ia akan
mendapat banyak pengalaman, dan pastinya berbobot. Lima belas menit kemudian ia
telah melewati pepohonan, rumput, bebatuan, gedung demi gedung, dan telah
menyusuri panjangnya aspal dari tempat kost hingga di sebuah ruangan yang masih
hening.
Seketika ia agak terkejut. Senyum
yang tadi mengembang manis semanis kembang gula, tiba-tiba berkurang
sedikit-sedikit. Ia langsung teringat pada perkataan teman-teman di kostnya
tadi.
“Apa betul yang mereka bilang?”
Ah…Hamid berusaha menepis semua
anggapan itu. Baginya mahasiswa yang tergabung di lembaga ini teramat sempurna.
Mereka orang-orang intelek, punya segudang prestasi, punya segudang pengalaman
di berbagai lembaga besar lain, dan akupun ingin seperti mereka. Yah, mungkin
ini lecutan awal bagiku sebagai anggota baru yang akan mulai belajar. Lagipula
jam masih menunjuk pada 06.23, masih tersisa tujuh menit pikirnya.
Hamid pun menunggu. Sendirian ia
menatap cerahnya pagi. Kabut-kabut mulai menipis, awan-awan masih berarak malas
semalas teman-teman di kostnya tadi.
“Hahaha”, seketika Hamid tertawa.
Mau jadi apa mereka. Bangun pagi saja malas, gumamnya dalam hati. Tanpa sadar
ia mulai berbangga diri, entah hal apa yang tiba-tiba membuatnya sombong. Entah
karena tergabung di wadah orang-orang intelek atau apa. Tapi tawanya seketika
terhenti. Ia mulai gelisah. Was-was juga hatinya menunggu teman-teman yang
sudah mengadakan janji untuk rapat. Ia mulai bosan, dongkol juga ia menunggu
seorang diri dengan suasana yang masih hening. Ia mulai berpikir aneh-aneh.
Batinnya mulai mengumpat, mulai berbisik-bisik kasar. Ia gelisah, ia mulai
marah, epidermis di keningnya mulai mengkerut. Bibir yang semula mengembang
dihiasi senyum seketika datar.
“Huft”, Hamid mendesah. Namun ia
tetap berbesar hati. Ya, mungkin mereka telat sedikit. Ya, telat lima sampai
sepuluh menit tak apalah, mereka kan orang-orang sibuk. Hamid pun berbesar
hati. Ia melanjutkan tatapan kosong ke arah langit. Baginya hanya mentari yang
bisa berbalas senyum dengannya kini. Benar-benar tak ada orang di sini. Padahal
ia sudah membayangkan suasana rapat penuh aroma intelek yang segar di pagi
hari. Namun, menit demi menit telah ia lewati. Belum ada derap langkah yang
terdengar mendekatinya.
Seketika ia kesal, amarah membumbung
sampai ubun-ubunnya. Kekesalan yang begitu kuat membuncah di dadanya.
“Apa-apaan ini!”
Ia pun mengomel sedemikian rupa.
Seakan mengeluarkan semburan air dari pipa hati yang sedari tadi ia
tahan-tahan.
“Dasar! Katanya mau rapat jam
setengah tujuh. Tapi mana? Mana? sudah hampir jam tujuh belum ada satupun yang
muncul!”
Hamid terus mengoceh seorang diri.
Entah ia mengomel kepada siapa. Mentari yang menjadi teman tersenyunya sedari
tadi terus menatapnya masih dengan senyum bahkan kini semakin cerah
menghangatkan dunia. Ia kesal, seharusnya kini ia tengah tersenyum bak mentari
itu. Menyaksikan orang-orang hebat itu beradu argumen dalam sebuah rapat yang
sudah mereka sepakati. Sebagai maba yang baru menapaki dunia kampus, ia
sesungguhnya tengah mencari jati diri. Ia ingin menjadi yang terbaik diantara
yang baik. Karena lembaga ini dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa berprestasi baik
akademik maupun non akademik. Namun kini ia mulai kesal dengan semuanya.
Kebanggaan yang memenuhi otaknya ia hapus sedikit-sedikit. Baginya mereka sama
saja dengan mahasiswa lain yang suka ngaret.
“Kenapa sih mereka tidak bisa
menghargai waktu? Apa karena waktu tidak berwujud? Apa karena waktu tidak bisa
marah-marah? Apa karena waktu tidak bisa menegur mereka? Oke baiklah saya yang
akan melakukan semua itu atas nama sang waktu!”
Hamid mulai mengoceh, dalam otaknya
ia mulai merasakan panas yang menjalar sampai ke ubun-ubunnya. Berbagai
kritikan plus sindiran tajam sudah berwara-wiri dibenaknya. Tanpa sadar ia
mulai angkuh. Hamid muda merasa perlu menunjukkan bahwa ialah yang patut
dicontoh orang-orang itu. Orang-orang yang menurut Hamid bagai kedondong.
Diluar baik, mulus, penuh prestasi. Tapi di dalam keseharian tak sebaik di
luar. Mereka ngaret! Tidak disiplin dan tidak konsisten. Ia pun bangkit dari
tempatnya menunggu. Sebelum melangkah ia tak lupa mengirim SMS ke beberapa
teman rapatnya hari itu.
Saya
kecewa pada kalian. Jadwal rapat kita itu 06.30. tapi lht skg sdh hmpir jm
07.00 klyn blm ad yg mncul. Sdh kering sy mnunggu dsini! Klu bgtu smpaikan maaf
sy pd ketua. Bilang sm dia jgn hrap bs maju kLu pd waktu sj anda tak bs
menghargainya!
Berbagai pikiran aneh pun kembali
hinggap hingga ia pun sampai pada mimpi menjadi ketua lembaga tersebut. Hihii..
Hamid cekikikan geli. Ia sampai berpikir sampai sejauh itu. Bla..bla..bla..
semua kekesalannya terganti dengan khayalan tingkat tinggi. Tetapi tiba-tiba
khayalannya buyar karena deringan SMS di HP-nya. Langkah yang sedari tadi mulai
ringan menjadi begitu berat. Senyum Hamid yang lebar menjadi mengkeriput. Mata
berbinarnya pun berubah menjadi melotot tajam. Hati yang berbunga-bunga menjadi
remuk. Entah apa yang akan ia lakukan.
Dilihatnya ke langit, mentari
terbahak menertawainya. Disekelilingnya bunga-bunga, rumput, dan pepohonan
cekikikan menertawainya pelan dan sembunyi-sembunyi. Ia pun berlari
sekencang-kencangnya. Hamid malu, ia menutup wajahnya tak mau terlihat dunia.
“aaaaarrrghhhhhhh..!” hamid
berteriak tapi bukan karena kesal lagi melainkan karena malu. Ia malu setelah
membaca SMS yang berisi:
Afwan akhi rapat kita bukan hari ini, tapi
besok. Jadi wajar gak ad yg nongol hr ini hehhe.
0 komentar:
Posting Komentar