“Amin…”
Kata yang selalu kusebut di ujung
doaku. Tentu saja berharap apa yang aku panjatkan pada-Nya bisa segera
dikabulkan. Meski aku tahu Tuhanku pasti akan mengabulkan doaku, cepat atau
lambat. Tapi tentang doa yang satu ini, yang kerap kupanjatkan disetiap
sembahyangku, apakah Ia akan mengabulkannya?
“Nis…ada telepon tuh buat kamu.”
Segera aku meraih gagang telepon
yang berada tepat di samping televisi.
“Halo..” kataku memulai percakapan
dengan seseorang di ujung sana yang belum ku ketahui.
“Hai Nis…lagi ngapain?”
“Heh…ini Panca?”
“Ya enggak lah. Heran aja, kok gak
lewat HP aja sih. Lebih pribadi.”
“Ya makanya itu, aku dari tadi udah
sms, gak dibales. Ditelepon berkali-kali juga, enggak diangkat. Saking
paniknya, ya udah telepon ke rumah kamu aja.”
Namaku Anisa. Cewek berkacamata
minus dengan jilbab yang selalu menutupi kepalaku. Sepintas, orang mungkin akan
menganggapku cewek yang fanatik, yang ketat dengan berbagai aturan di dalam
agama yang aku anut. Tetapi bagi mereka yang mengenalku sejak beberapa bulan
ini, pandangan mereka mungkin agak sedikit bergeser. Bahkan terjungkal, dari
yang menyimpan simpatik tinggi atas ketaatanku beragama, berubah menjadi memandang
aneh dan sedikit tidak masuk logika.
“Kamu masih berhubungan sama dia
Nis?”
“Eh, dia siapa bu?”
“Yang telepon siang tadi, Panca
kan?”
***
“Amin…”
Lagi-lagi kututup doaku dengan
kalimat itu. Seperti suatu keharusan yang menyimpan pengharapan agar doaku akan
cepat terjawab. Iya, kali ini aku mungkin pesimis. Yakin Tuhan akan menjawab
doa ini dengan kenyataan yang menyakitkan bagiku. Siang itu, aku baru selesai
melaksanakan shalat di musholah kampus. Namun, baru beberapa langkah
meninggalkan mushola, tampak olehku sosok yang tak asing bagiku. Sosok yang
menjungkalkan akal sehatku, sosok yang dilematis dalam hidupku, keluargaku, dan
lingkunganku. Dialah Panca, sosok yang selalu berkeliaran di pikiranku, seorang
lelaki dengan kalung salib di lehernya
“Sudah kelar sholatnya?”
“Iya udah.”
“Pulang bareng yuk?”
“Hah? Bareng. Ngaco ya? Apa kata
dunia kalo aku diantar pulang sama kamu?”
“Ups…maaf..aku khilaf hahaha.”
Sikap Panca memang selalu
mendatangkan kejutan. Bukan satu kali ia melontarkan pernyataan-pernyataan
mengejutkan itu. Seakan kita berada di dalam dunia yang sama. What? Apakah
dunia kami berbeda? Hanya gara-gara aku muslim dan dia nasrani? Tuhan, aku
yakin hanya Engkau satu-satunya yang patut disembah. Allah swt. Dialah sang
pencipta, sang penguasa yang Maha Esa. Tapi perbedaan ini, perbedaan keyakinan
diantara kami, haruskah mengorbankan perasaan yang tak sengaja lahir dari
perkenalan kami, yang pasti telah Engkau atur sebelumnya?
Aku sendiri bingung, mengapa harus
Panca Ya Allah. Sudah kucoba untuk mengusir perasaan ini, tapi selalu saja ada
kesempatan yang mengembalikan perasaan itu padaku. Lalu, siapa yang
merencanakan itu semua?
Sore itu, Panca mengajakku bertemu.
Lagi-lagi aku turut saja ketika dia mengajakku menikmati bakso di tempat
favorit kami. tempat yang menyimpan banyak momen-momen manis di antara kami. Walau
hanya sekadar bertukar ide-ide gila tentang kehidupan, saling bertukar senyum,
hingga sesekali ia lemparkan tatapan yang membuat pipiku memerah, semerah senja
yang selalu menanungi kebersamaan kami.
“Bu, Nisa pergi bentar ya.”
“Mau kemana toh nduk? Sudah sore.”
“Em, cuman makan bakso kok bu. Habis
itu juga langsung pulang kok.”
“Bakso ya? Sama Panca?” tatapan Ibu
sangat menusuk jika ia mengucapkan nama Panca.
“Kenapa sih bu. Aku juga hanya
makan-makan. Gak macam-macam bu.”
“Bukan masalah itu nduk. Ibu percaya
sama kamu. Tapi ingat kan, dia itu berbeda. Dan ibu tahu rasa itu telah tumbuh
di hatimu. Jangan sampai rasa yang telah tumbuh itu berkembang dan menghasilkan
buah yang haram di mata agama kita.”
Ah…ibu. Perempuan yang selalu
mendukungku. Tapi kali ini, aku kehilangan rangkulan ibu. Di saat aku bingung
menghadapi dilema ini, ibu terus mencecarku dengan berbagai pernyataan yang
menyakitkan. Aku tahu ibu hanya mengingatkan, tapi tidakkah ia memikirkan
perasaanku? Perasaan yang mungkin pantas aku sebut cinta.
***
Semakin hari, aku semakin dilema.
Tak mungkin kami melanjutkan hubungan dengan keadaan seperti ini. Tapi,
bagaimana dengan perasaan diantara kami. sungguh aku tak tega membunuh perasaan
ini. Bukankah kejam, orang yang menjadi pembunuh atas perasaannya sendiri?
Malam itu, Panca memintaku
menemaninya menyiapkan pernak-pernik natal. Hari minggu besok adalah 25
Desember. Hari dimana Panca dan umat yang seiman dengannya merayakan hari besar
agama mereka. Aku tak banyak paham tentang natal. Yang aku tahu, itu adalah
hari besar kaum nasrani. Sungguh aku tak ingin merusak kebahagiaan Panca. Aku
melihat matahari di matanya. Tapi, desakkan dari lingkungan sekitarku terus
bergejolak. Harus Nisa, kau harus bisa mengatakan hal itu secepatnya!
“Nis, besok kamu ke rumah ya. Nanti
kamu bisa nyobain masakan special natal buatan mamaku.”
“Masakan natal ya?” aku hanya
menjawab dengan lirih. Ya Allah, apa aku sudah kehilangan akal sehat. Aku tahu
hal itu akan mengundang kontroversi. Bagaimana kalau ibu tahu. Jangankan
mencicipi masakan mamanya, bahkan sekadar mengucap marry Christmas saja aku tak
bisa.
Siang itu, aku memenuhi undangan
Panca. Entah apa yang ada di pikiranku kala itu. Aku mengunjungi rumah Panca
tepat di tanggal 25 Desember. Aku sangat merasakan kehangatan keluarga Panca
yang larut dalam suka cita natal. Melihat pernak-perniknya yang meriah,
warna-warni menghiasi pohon natal serta berbagai kado yang menjadi perebutan
anak-anak di rumah Panca yang menambah keceriaan natal di keluarga Panca. Semua
bahagia, semua tertawa dan bernyanyi namun tetap terasa syahdu. Aku pun turut
mencicipi hidangan natal. Tak ada perasaan takut atau ragu. Karena mereka tak
mungkin menyediakan hidangan yang haram bagiku. Keluarga Panca paham betul
dengan perbedaan yang ada padaku dengan keluarga mereka. Seorang gadis
berjilbab yang berkunjung di rumah lelaki dengan kalung salibnya.
Diantara keceriaan itu, tiba-tiba
kumandang adzan menggema. Seakan menyadarkanku, hei Anisa di mana tempatmu? Ya,
aku tahu aku sudah dipanggil untuk kembali menghadap kepada Allah. Kembali
untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslimah. Seketika aku bingung. Mana
mungkin di sini ada alat sholat. Salahku juga tidak membawa perlengkapan
sholat.
“Panca, aku ijin pulang ya.”
“Yah, Nisa kok buru-buru banget?”
“Sudah dzuhur Ca. kamu ngerti kan?”
“Oh sholat ya. Em, gimana kalo aku
anter ke masjid aja. Di dekat sini ada mesjid kok.”
Agak tercengang juga ketika sampai
ke masjid yang Panca maksud. Di depannya berdiri sebuah rumah ibadah yang
berbeda dengan rumah ibadah yang kutempati saat ini. Ya, di depan masjid yang
kusinggahi ini, berdiri sebuah gereja, sebuah rumah ibadah yang tak akan pernah
kumasuki sampai kapanpun. Ah, agama. Ya Allah, begitu banyak misteri yang sulit
untuk kucerna. Semua ini sangat menyesakkan bagiku.
Tak ingin terlalu larut dalam
pikiran membingungkan itu, segera kuselesaikan kewajibanku siang itu. Usai
shalat, kulihat Panca masih setia menungguiku di halaman masjid.
“Udah shalatnya Nis?”
“Iya, udah. Thanks ya.”
“Thanks buat apa?”
“Ya, buat masjidnyalah. Thanks udah
nunjukin tempat buat aku ibadah.
Panca hanya
tersenyum mendengar perkataanku itu.
“Panca, hari ini aku senang deh.
Bisa ikut melihat keceriaan natal di keluarga kamu, tapi tetap bisa juga
menjalankan kewajibanku. Haha, gila ya aku.”
Namun, panca hanya diam. Seakan dia
tak menggubris pembicaraanku.
“Panca, kamu kok diam sih. Denger
aku ngomong gak?”
“Nis, kira-kira bisa gak kita
bersatu?”
Pernyataan itu. Lagi-lagi ia selalu
mengutarakan hal yang mengguncang dan mengaduk-aduk perasaan ini.
“Kalau seandainya hal itu terjadi,
kita tinggalnya di deket sini aja Nis. Jadi aku bisa dekat ke gerejanya, kamu
juga bisa ke masjid kan?”
“Panca…kamu sadar gak sih. Kita itu
beda Ca. kita gak akan bisa mewujudkan hal itu.”
“Tapi Nis….”
“Ssstt…udah panca. Kita jangan bahas
ini sekarang. Yang pasti aku senang dengan kebersamaan kita selama ini. Suatu
hari nanti Tuhan pasti akan menjawab semua teka-teki ini. Aku sendiri belum
tahu, akan kemana hubungan yang udah kita jalani ini. Yang pasti apapun yang
akan terjadi nanti, kamu janji gak akan benci sama aku ya?”
Percakapan sore itu mengalir apa
adanya. Semua terasa lepas. Kini aku sadar tak mungkin bersatu dalam ikatan
yang suci bersama Panca. Agak janggal kurasakan semuanya. Hanya karena agama,
kami tak bisa mewujudkan mimpi kami. Tapi, apakah baik jika kami menentang
agama hanya karena keegoisan yang mengatasnamakan cinta? Bukankah cinta
mengajarkan kebaikan?
Sore itu betapa ingin aku menemani
Panca. Tapi aku sadar kami berbeda. Kami harus terpisah oleh sesuatu yang
mereka sebut agama. Agama ataupun keyakinan. Di negaraku ini, Indonesia mengakui
lima agama dengan keyakinan masing-masing. Semua terbagi dan diikat oleh
persatuan yang kami sebut toleransi. Bukankah garuda yang gagah telah
mencengkeram semua kepercayaan itu dalam bhineka tunggal ikanya? Bagaimanapun
cara kami beribadah, tapi aku pun yakin Tuhan hanya satu. Dialah yang Maha Esa.
Hari ini tepat 25 Desember, aku
melihat natal di mata Panca. Natal yang tak mungkin aku hapus, hanya karena
ingin memenangkan perasaan yang masih bayi diantara kami. Sore itu Panca
mengantarku kembali ke rumah. Dengan latar belakang agama yang ku anut, tak
mungkin aku mengucap selamat untuk hari yang ia rayakan hari ini. Tapi, atas
nama Pancasila, bolehkah aku mengucap selamat untuk hari yang membahagiakan
bagi orang yang aku syang? Ah, Panca….apapun yang kau lewati hari ini aku hanya
ingin……aku hanya ingin mengucapkan selamat hari minggu Panca. Semoga weekend
ini menyenangkan bagi kita semua.
Notes: Cerita ini fiktif belaka yaa..Happy writibg all :))
0 komentar:
Posting Komentar