Aku mengenalnya sejak beberapa bulan
yang lalu. Tepat di depan bangunan itu. Bangunan yang nampak megah dengan kubah
yang setia memayunginya. Di masjid itu pula, ia selalu menyerahkan jiwanya pada
sang pemberi kehidupan. Ia selalu nampak khusyuk dengan lantunan kalimat suci
yang nampak begitu lancar, deras mengalir dari bibirnya. Sementara aku, dari
tempat yang berbeda, turut mengaminkan doanya. Sebab aku tahu, ia menyelip doa
untukku. Pasti!
Sejak
hari itu, hari dimana aku mengenalnya, aku kerap memanggilnya kakak. Padahal
kami seumuran. Entah mengapa, aku senang bersahabat dengannya. Setiap sabtu
sore ia selalu berada di masjid itu. Dengan sabar ia menanti siapa saja yang
hendak mampir di lapak buku sederhananya. Entah membeli atau hanya sekadar
membaca-baca saja.
“Kak,
ada buku baru ga ?”
“Banyak…silahkan
dilihat-lihat dulu.”
Disela
aku melihat buku itulah, aku mendapat sentilan kecil yang membuat aku gelisah
memikirkan semua ini.
“Dek,
sepertinya kamu cocok juga ya kalo pake kerudung.”
Ah, kak Rahmat. apakah ia sengaja menyinggungku? atau aku yang terlalu serius menanggapi kalimat yang ia sendiri refleks mengucapkannya. Ya, selama ini hubungan kami selalu harmonis dan hangat. Tapi, untuk kali ini aku benar-benar bingung. Apa maksudnya ia menyuruhku berkerudung? Padahal ia jelas-jelas tahu kalau aku adalah gadis berkalung salib.
Besok
adalah 14 Februari. Dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Hari untuk
mengenang kematian seorang pendeta yang rela mengorbankan jiwanya demi
kebahagiaan umat. Masih seperti tahun-tahun kemarin, aku turut merayakan
euforia valentine. Lengkap dengan nuansa pink dan manisnya coklat yang kami
bagikan kepada orang-orang terkasih. Menurutku tidak ada salahnya memperingati
hari ini, meski semakin hari kontroversi Valentine semakin ramai
diperbincangkan. Ya, bagiku…Valentine bukan tentang agama siapa, melainkan
bagaimana mengasihi sesama dengan cara kita masing-masing dengan segenap hati.
Aku
sudah menyiapkan semuanya. yang aku tahu, ini hari kasih sayang. Mereka selalu
bilang, kasih sayang tak perlu dirayakan. Setiap hari kita wajib berkasih
sayang, tapi anehnya selalu saja ada air mata yang tumpah setiap harinya.
Aku
mulai membagikan coklat-coklat buatanku pada teman-teman. Ekspresi mereka
bermacam-macam. Ada yang ikhlas menerima, namun ada juga yang terlihat ragu
menerimanya. Seperti Kak Rahmat…..
“Ini
coklat valentine?”
“Kalau
ia, lantas kenapa?”
“Maaf,
bukannya aku menolak. Tapi kau tau kan, kalo aku gak merayakan valentine?”
“Apakah
semua kebaikan yang aku lakukan harus dianggap sebagai kado valentine? Kalau begitu aku tidak boleh melakukan
kebaikan untukmu.. Dan akhirnya hari ini terlewati tanpa melakukan satu
kebaikan pada orang yang aku sayangi?”
“Maria…jangan
mulai lagi perdebatan itu!”
“Baik
kak, aku stop. Kalau begitu anggap aku tidak pernah merayakan hari ini, dan
terimalah coklat ini. Coklat ini untukmu, Kak!”
Bahkan
di hari ini saja, aku benar-benar tak bisa membagi kasih sayang untuk Kak
Rahmat. Hanya karena aku termasuk orang-orang yang merayakan hari kasih sayang.
Tuhan, mengapa harus Kak Rahmat. Tak bisakah perasaan ini kuberi pada orang
yang menerima aku apa adanya? Tanpa memandang agama yang aku anut?
Aku
melihat butiran kaca di matanya. Ah, Kak Rahmat, apa kau menangis. Apa yang kau
tangisi? Tentang coklat ini? Atau tentang aku yang tak kunjung kau lihat
berkerudung seperti pintamu?
“Kak,
Maria mohon, terima coklat ini. Maria ikhlas, Kak!”
“Ah..Maria.
Kau jangan merengek. Tenanglah, aku akan menerima coklatmu. Kau benar, ini
hanya sekadar coklat. Lagipula aku juga penasaran, bagaimana coklat buatan
tanganmu itu.”
“Iya
kak silahkan dicoba. Siapa tahu besok Kak Rahmat mau lagi, besok harganya Lima
ribu rupiah ya Kak!”
Kami
tergelak. Aku merasa lega. Setidaknya ia bisa merasakan coklat yang aku buat
dengan sejuta kasih sayang itu. Ya, akhirnya Kak Rahmat menerima coklat ini,
meski dengan alasan yang cukup menggelitik untuk kupahami.
Ia
mulai membuka bungkusan coklat bergambar hati itu. Sret..sreet.. Suara kertas
pembungkus nampak jelas sekali di pendengaranku. Namun, belum sempat Kak Rahmat
mencoba coklat itu tiba-tiba……
“Rahmat,
kamu bisa adzan ga?”
“Iya,
bisa. Memangnya kenapa Pak?”
“Tolong
kamu gantikan bapak sebentar ya. Suara bapak sedang ga bagus. Sakit
tenggorokan. Tolong ya nak Rahmat!”
“Oh
ia, tentu saja Pak.”
“Maria…sebentar
ya. Aku adzan dulu.”
Segera
ia berlari menuju bangunan itu. Meninggalkan aku di pelatarannya yang malam itu
terasa sepi. Beberapa saat kemudian terdengar suara Kak Rahmat membahana dengan
sangat indah. Suaranya bulat, lantang, memecah kesunyian yang sedari tadi
mendominasi malam.
Aku
begitu haru, suara Kak Rahmat memang merdu saat melafadzkan seruan kepada
sesamanya untuk segera menunaikan kewajiban mereka.
Aku
benar-benar tak dapat memahami perasaanku saat ini. Aku belum bergeming dari
pelataran bangunan itu. Aku tergugu, diam masih di pelatarannya. Masih
menikmati lantunan adzan nan indah sembari menatap coklat yang ditinggal begitu
saja oleh pemiliknya.
Aku
tak tahu bagaimana perasaan Kak Rahmat menerima coklat pemberianku. Yang pasti
aku ikhlas memberikan kepadanya, hasil jerih payahku, ungkapan sayang dariku.
Ya, apapun tanggapanmu……coklat ini untukmu, Kak Rahmat.
Kendari, 14
Februari 2012…Miss Eka :)
0 komentar:
Posting Komentar