Tidit..tidit..tidit…..
Suara Alarm dari
HP membangunkan Marwa yang sedang terlelap. Subuh yang gerimis ini begitu
melenakan dirinya, hingga tak ingin beranjak dari empuknya kasur dan hangatnya
selimut bergambar dalmation kesayangannya.
“Ish…apa-apaan
ini, orang masih tidur enak.”
Marwa
benar-benar mengabaikan alarm itu, padahal ia tahu saat itu sudah waktunya ia
bangun dan melaksanakan kewajiban subuh sebagai muslimah.
Dilihatnya
kembali layar HP berwarna biru langit tersebut. Di layar menunjukkan pukul
05.00. Biasanya ia segera beranjak dari peraduan lalu menunaikan sholat subuh.
Namun, subuh itu entah setan darimana asalnya hingga ia tergoda untuk
melanjutkan tidurnya itu. Sebenarnya ada perasaan was-was dalam hatinya,
rasanya ia tak tega untuk meninggalkan kewajibannya, namun tak seperti biasanya,
dorongan hati untuk terus tidur terngiang-ngiang mengantarkannya hingga ia
telah kembali memejamkan mata ke alam fantasi bawah sadarnya.
Namun, tiba-tiba
goncangan yang maha dahsyat membangunkan tidurnya subuh itu.
Grubuk..grubuk..grubuukk…dan
Marwa pun terjaga.
“Ah gempa
ya…tolong..toloooong…gempa…gempa!”
Hatinya mendadak
tercekat. Panik karena goncangan yang sungguh luar biasa dahsyat. Seketika itu
wajahnya pucat, peluh mengucur dari sekujur tubuhnya. Kakinya lemas seketika
seakan tak mampu menopang tubuhnya. Apalagi ketika tersadar ia berada di tempat
yang asing.
“Dimana ini?”
gumamnya dalam hati.
Sekelilingnya
tak nampak apa-apa. Hanya gumpalan awan putih tebal yang membuat ia tak mampu
melihat apapun di sekitarnya. Ia benar-benar sendirian. Sendirian tanpa apapun,
tanpa suara sedikitpun, yang ia rasakan hanya hampa, sekeliling yang diselimuti
awan putih pekat dan telinga yang berdengung akibat tak ada suara sedikitpun di
tempat tersebut.
“Mama….” Ia
berteriak sekuat tenaga memanggil siapapun yang ia ingin panggil. Berharap ada
seseorang yang akan menolongnya. Namun kepanikan kembali menyergapnya. Sebab
suaranya tak ada lagi. Kembali ia coba memanggil mamanya, “Ma…Ma…Ma…” namun
tetap tak bisa. Suaranya hilang tak terdengar sedikitpun. Ditengah kebingungan,
kepanikan, dan telinga yang semakin berdengung dalam kesendirian di tempat nan asing
itu, rasanya ia ingin berlindung. Mencari
tempat bersembunyi atau memeluk seseorang yang ia kenal. Namun semua sia-sia.
Semakin ia berlari, semakin ia tak menemukan ujung dari gumpalan awan putih
yang menebal tersebut. Hingga ia tersungkur lemas tak berdaya menahan takut
yang teramat sangat itu.
Kembali ia
teringat akan peristiwa subuh tadi. Ia berpikir inikah hukuman Tuhan bagiku.
Hanya karena aku lalai tak menjalankan perintah-Nya? Ya Tuhan beri petunjukmu
jangan biarkan hamba sendirian di sini. Hamba takut ya Allah, hamba bertobat ya
Allah. Ampuni hamba. Tetesan air mata deras mengucur dari kelopak matanya.
Sungguh ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Sambil terus berdoa, ia memohon
kepada Tuhan untuk menolongnya keluar dari keadaan mencekam itu. Lama ia
menangis berharap keajaiban dari Tuhan akan menolongnya sesegera mungkin. Sampai
suatu saat Tuhan mendengar doanya. Tiba-tiba ada sebuah cahaya yang menyinari
pandangannya. Seketika ia merasakan kehangatan dari cahaya tersebut. ada
secercah harapan di hati Marwa. Seketika itu ia mengucap syukur “Alhamdulillah”
dan ia sadar bahwa saat itu juga suaranya telah kembali. Senang hatinya dan
terus mengucap syukur. Ia berpikir
mungkin Tuhan mengampuninya dan segera mengeluarkan ia dari tempat yang ia
sendiri tak tahu namanya.
Namun, perasaan
lega itu tak bertahan lama. Dibalik sinar tersebut seketika nampak pemandangan
yang tak asing baginya.
“Itu kan rumah
aku. Ah, itu Ayah, Mama, dan lainnya” ya, di sinar itu Marwa melihat anggota
keluarga serta beberapa temannya. Namun di gambar tersebut, mereka semua nampak
sedang menangis. Begitu sedihnya sehingga memilukan bagi siapapun yang melihat
suasana tersebut. kembali ia coba memanggil mereka satu per satu, namun
sia-sia, sebab mereka seakan tak mendengar teriakan Marwa.
Sampai akhirnya
ia lelah. Percuma ia memanggil, sebab tak ada gubrisan dari mereka sedikitpun.
Ia penasaran apa sebenarnya yang terjadi di rumahnya. Ia terus menyusuri
kegiatan yang berlangsung di rumahnya. Ia tatap setiap sudut yang bergiliran
ditampilkan oleh sinar tersebut persis seperti shotingan film yang berganti
dari suatu tempat ke tempat lain. Seketika hatinya tercekat, kembali peluh
membajiri tubuhnya. Pucat pasi kini nampak menghiasi wajahnya. Hatinya seketika
mengelu, tubuhnya berdesir seakan aliran darahnya membeku tak mengalir lagi.
Nampak matanya nanar melihat seonggok tubuh tergeletak tertutup kafan yang
dikelilingi orang-orang yang nampak melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Dengan
berjuta tanya dan berbagai pikiran panik ia berharap seseorang membuka kafan
tersebut, agar ia tahu siapa sosok dibaliknya. Dan seketika itu ia mematung,
tubuhnya kaku, tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan. Marwa berlinang
air mata, tak tahu harus melakukan apa lagi. Masih tak percaya, tapi ia kini
sadar telah berada jauh dari keluarga. Berada di alam yang berbeda denga mereka
semua, sebab baru saja ia melihat sosoknya sendiri yang berada di balik kafan
nan putih tersebut.
*
“Marwa…Marwa..Marwa…”
Kembali ia
merasakan tubuhnya berguncang. Namun tidak sehebat guncangan sebelumnya. Terasa
olehnya guncangan itu lembut, hangat, namun penuh ketegasan. Marwa heran, ia
takut membuka matanya, ia tak tahu lagi pemandangan apa yang akan ia temui.
Namun, guncangan itu tak berhenti. Kali ini ia pun mendengar suara yang sangat
familiar di telinganya. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, ia mencoba
untuk membuka mata. Seketika itu ia terbelalak. Marwa mengusap-usap matanya.
“Bangun Marwa.
Sudah hampir pagi. Kamu belum sholat subuh kan?”
Marwa tak
percaya pada apa yang ia lihat saat itu. Ia cubit lengannya, ia tepuk-tepuk pipinya
membuat sel-sel pada kulitnya bereaksi dan mengantarkan stimulus bertanda bahwa
apa yang ia lakukan itu menimbulkan sakit untuk kulitnya. Seketika itu ia peluk
mamanya, membuat mama bertanya-tanya apa yang terjadi pada putrinya tersebut. Namun,
sebelum bercerita panjang lebar, ia segera melihat layar HP-nya.
“Astagfirullahalazim,
pukul 05.30 Ma. Marwa sholat dulu ya.”
“Eh kamu kenapa
nak?” mama keheranan melihat tingkah putrinya itu.
Tapi Marwa belum
bernafsu menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami. Matahari mulai terbit,
pertanda waktu subuh hampir habis. Baginya kini hanya satu. Ia ingin segera
mengambil wudhu dan bergegas melaksanakan kewajibannya subuh itu.
Marwa tersadar,
tak ada alasan untuk menunda-nunda pekerjaan, apalagi jika itu merupakan
kewajiban. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi jika kita menunda
pekerjaan itu. Jangan sampai kita menyesal, jangan sampai kita merasa
terlambat, karena waktu tak pernah bisa terulang. Sejak saat itu Marwa
senantiasa mengerjakan semua pekerjaan yang bisa ia selesaikan. Tak ada kata
menunda apalagi untuk melaksanakan kewajiban. Mimpi yang datang terhadapnya
teramat buruk jika harus menjadi nyata. Sekarang ia sadar betapa berharganya
waktu untuk diisi dengan kegiatan bermanfaat. Jadi, selagi kita mampu, kerjakanlah
apa yang harus kita kerjakan. Jangan sia-siakan waktu, karena sekaya apapun,
kita tak pernah bisa membeli sebuah waktu.
0 komentar:
Posting Komentar