Rabu, 30 Juni 2010

PAK ROY YANG MALANG

Diposting oleh miss_eka di 6/30/2010 10:02:00 AM
95…96…97…98…99…100…

Huhf….akhirnya selesai juga..!! Ahaa,, sekarang saatnya melapor pada pak Roy.

”Lapor pak, hukuman push up sebanyak seratus kali telah terlaksana dengan baik.”

”Heh,,terus kenapa mi ko melapor segala. Ko pikir ko sudah jago mi itu? Baru juga seratus kali, coba kalo saya suruh ko seribu kali push-up, ko mau.??

Dan begitulah, siang itu Pak Roy terus saja mengoceh. Padahal aku telah menuntaskan hukuman yang ia berikan untukku. Pak Roy memang dikenal sebagai guru yang paling killer di sekolah kami ini, di SMAN 32 Kendari, Sulawesi Tenggara. Sebenarnya tujuannya baik, agar kami patuh terhadap peraturan dan menjadi siswa yang disiplin. Namun, akibat dari kedisiplinannya tersebut sehingga banyak siswa yang menjadi sebal terhadap sikapnya itu sehingga ia dijuluki si bapak tiri dari goa hantu.

“Hei Ben..ko dari mana lagi? Kenapa ko baru datang?”

”Yah,,,biasalah...telat,,hahhaaha.” jawabku enteng seakan telat sudah menjadi hal wajar yang harus aku alami setiap harinya.

”Heh,,,kau ini, dapat hukuman ko bangga di. Terus pasti ko dapat lagi hukuman dari bapak tiri. Hukuman apa lagi ko dapat ini hari?” Didit teman sebangkuku bertanya seakan sudah hafal betul aktivitas pagiku setiap harinya.

”Emm,,,kali ini to agak ringan hukumanku, kayaknya da sudah bosan hukum saya, hahaahha.. biar saja, pokoknya kita buktikan siapa yang akan menyerah.”

”Emm,,ko nda naik kelas pi baru ko rasa.”

”Ahh,,ndak mungkin. Masa da nda kasihan sama muridnya yang terganteng ini.”

”Nyatanya ndak kasihan. Secara kalo sampe ko naik kelas baru ko lulus, ndak ada mi tukang bersih-bersih wc sama lapangan!! Hahaahaa...kami tertawa, seakan tak ada beban.”



***



Siang itu kami mendapat pemberitahuan dari Pak Roy bahwa minggu depan akan diadakan ulangan harian. Oleh karena itu kami diperintahkan belajar sebaik mungkin. Ah, tapi bagiku hal itu tidak mungkin aku lakukan, karena seperti biasa aku hanya perlu menyiapkan peluru-peluru ampuh dalam menghadapi peperangan berupa soal ujian matematika dari Pak Roy. Pak Roy sebenarnya guru yang baik, perhatian terhadap siswanya. Ia juga selalu menawarkan konsultasi jika ada siswa yang kesulitan dalam belajar matematika. Terutama di kelasku, karena ia juga merupakan wali kelas kami. Namun, karena sedari awal aku sudah tak cocok dengannya, maka sampai kapanpun rasanya aku tak akan pernah bisa mengikuti pelajaran yang ia berikan.

Aku adalah salah satu siswa yang dihafal oleh Pak Roy. Namun, bukan karena prestasi atau hal-hal positif lainnya, melainkan karena segala tingkah lakuku yang kerap membuat ia naik darah. Puncaknya terjadi seminggu yang lalu, ketika ia sedang mengajar di kelas. Bukannya memperhatikan pelajaran yang ia berikan, namun aku malah asyik menenggelamkan diri dalam dunia maya. Yupp, hari gini...main facebook adalah aktivitas yang lebih mengasyikkan ketimbang memperhatikan angka-angka di papan tulis dan sibuk menganalisa darimana asalnya itu. Namun karena keasyikan, aku tak menyadari kalau Pak Roy telah berdiri tepat di sampingku.

”Eh,,bapak.”

”Kenapa ko ketawa-ketawa. Ko pikir bagus itu senyummu?”

”Ndak ji kasian pak.”

”Sepulang sekolah sebentar siang, kamu jangan dulu pulang. Kamu menghadap di ruanganku. Mengerti.?!”

”I..i...iya..pak”

Duh, kena lagi. Meskipun sudah terbiasa mendapat hukuman darinya, namun tetap saja ada perasaan was-was. Entah hukuman apa lagi yang akan ia berikan. Dan yang paling menyebalkan adalah ia pasti akan memberikan ceramah pribadi terhadapku yang bisa berlangsung berjam-jam tanpa henti.



***



Beberapa hari kemudian akhirnya hari pelaksanaan ulangan harian matematika tiba. Aku dan teman-teman sekelas sudah siap dengan persiapan masing-masing. Bagi siswa yang telah belajar sungguh-sungguh, mereka punya persiapan yang matang di otak mereka. Ada juga yang menyiapkan dengan doa-doa mereka, hehhe...walaupun doa juga tak akan mempan tanpa belajar. Namun, yang paling tak pantas ditiru adalah persiapan ku. Persiapanku tak lain dan tak bukan adalah secarik kertas putih yang telah berisi rumus-rumus. Ya..walaupun belum tentu dengan itu aku dapat mengerjakannya, tapi setidaknya aku juga ada usaha untuk meghadapi soal ulangan harian matematika dari Pak Roy.

Lima menit lagi, jarum jam akan tepat menunjukkan pukul 12.00. Itu artinya jam pelajaran matematika Pak Roy semakin dekat. Entah mengapa aku semakin was-was dan sedikit deg-degan. Apa karena pengaruh kejadian beberapa hari lalu?

Pikiranku kembali melayang ke beberapa hari lalu, ketika Pak Roy menyuruh aku menghadap di ruangannya sepulang sekolah karena ketahuan sedang bermain facebook pada jam pelajarannya. Pada saat itu aku begitu takut, karena membayangkan hukuman yang akan ia berikan. Namun, ternyata ia tak memberi hukuman push-up ataupun membersihkan wc dan lapangan. Namu, ia hanya menceramahiku. Walaupun membosankan namun hari itu aura Pak Roy agak berbeda. Sorot matanya tak memancarkan emosi seperti ketika ia menceramahiku di hari-hari sebelumnya. Nada bicaranya pun tak setinggi biasanya. Ia hanya memberi nasehat-nasehat yang banyak memberikan ku motivasi. Di akhir ceramahnya ia juga memberiku pesan.

”Beni, bapak tahu kamu itu sebenarnya anak baik. Cuma kamu itu suka sekali cari perhatian. Bapak mau mengingatkan jalani hidupmu dengan sebaik-baiknya. Kamu sudah kelas tiga, sebentar lagi mau ujian akhir. Jangan sampai karena terlalu santai dan banyak bermain, kamu jadi tidak belajar. Coba itu mulai sekarang, ko ubah kebiasaan mu. Jangan suka terlambat, jangan suka malas-malasan. Perhatikan guru mu kalau sedang mengajar. Tidak ada siswa yang bodoh, asalkan ia punya kemauan dan serius dalam belajar. Ada waktunya kita belajar dan ada juga waktu untuk kita bermain. Kalau kamu bisa terapkan keduanya dengan seimbang, dijamin kamu akan jadi anak yang sukses. Tapi kalau kamu ndak mau ubah itu kebiasaanmu, jangan harap kamu bisa jadi anak yang sukses.”

Entah kenapa aku kembali terngiang dengan pesan dari Pak Roy tersebut. Sebenarnya kata-katanya ada benarnya juga. Namun, tetap saja aku kurang bisa menerapkannya. Bagiku, aku adalah aku. Aku akan tetap menjalankan hidup sesuai kata hatiku. Jika aku ingin begini,,ya beginilah. Semua pasti ada saatnya untuk berubah,,hahha..

Jam sudah menunjukkan pukul 12.05, namun Pak Roy belum juga menampakkan tanda-tanda kedatangannya. Kami semua sudah menunggu dengan penuh ketegangan. Karena bisa dipastikan ulangan yang diadakan Pak Roy akan dijaga dengan super ketat. Bagi siswa yang mempunyai persiapan di otak hal itu tak menjadi masalah besar, namun bagi siswa yang menyimpan persiapan di kertas sepertiku, hal itu menjadi sumber ketegangan yang amat besar. Dan akibat ketegangan tersebut aku pasti kebelet pipis. Namun kali ini aku berusaha rileks dan menahan agar aku tak perlu ke wc. Tapi, semakin ditahan-tahan rasa kebelet itu semakin menjadi. Dan akupun memutuskan untuk pergi ke wc sebelum Pak Roy memasuki kelas. Tanpa di duga dari kejauhan aku melihat sosok itu, sosok yang membuat aku merasa gugup hingga ingin buang air kecil, ingin rasanya membalikkan langkah kembali ke kelas. Namun, rasa ini sudah tak tertahan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk ke wc dulu baru segera ke kelas, rasanya Pak Roy pasti akan menerima alasan tersebut. Ketika berpapasan aku hanya senyum dan menunjuk ke wc, dan tanpa di duga Pak Roy hanya tersenyum seakan ia memberi ijin kepadaku. Agak aneh juga karena ia tak memberi komentar atau ceramah singkat, hahhhaha...tapi yang pasti aku ingin segera membuang ”air” ini dan segera mengikuti pertempuran soal matematika dari Pak Roy.

Ahh...rasanya lega juga setelah melepaskan sesuatu yang tertahan,,hahhaha,,,aku masih sempat tertawa cekikikan di dalam kamar mandi. Namun, aku bergegas menuju ke kelas, karena ku pikir pasti Pak Roy telah memulai ulangan. Sesampai di depan kelas aku sudah melihat teman-teman berkumpul di depan kelas dan mengerumuni seseorang. Sekilas aku mengira mereka mengerumuni Pak Roy, namun setelah aku perhatikan itu bukanlah Pak Roy melainkan sosok Pak Tomo, kepala sekolah kami. Ku perhatikan teman-teman lebih lanjut, ternyata mereka sedang terisak dengan air mata yang mengalir di pipi-pipi mereka. Aku pun bingung, ada apa ini? Lalu, ke mana Pak Roy? Apakah ia tak jadi memberi ulangan harian?

”Didit, kenapa ini? Kenapa kalian menangis? Mana Pak Roy, dia ndak jadi kasi ulangan ka?”

”Pak Roy...Pak Roy...” Didit seakan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Aku menjadi semakin heran dan bingung dengan keadaan ini. Apa yang terjadi. Lalu Pak Tomo mendekatiku, seakan ia mengerti dengan perasaan penasaran yang ada padaku.

”Begini nak, baru saja kami mendapat telepon kalau Pak Roy mengalami kecelakaan lalu lintas kasian. Dan nyawanya tak bisa ditolong lagi.”

Apa? Pak Roy meninggal? Tidak…tidak mungkin. Aku rasanya tak percaya. Baru saja aku berpapasan dengannya. Mana mungkin itu terjadi. Apa aku salah lihat? Ah, tidak mungkin. Aku paham betul dengan wajah wali kelasku itu, walaupun ia mengesalkan namun aku tidak mungkin salah mengenalinya.

Bagai petir di siang bolong, aku baru menyadarinya bahwa ini adalah kenyataan. Berulang kali aku menampar pipiku atau mencubiti lenganku sendiri. Aku masih tak yakin dengan yang apa terjadi. Namun, semua ini mau tak mau memaksaku untuk meyakini peristiwa ini. Aku baru menyadari makna perkataan Pak Roy ketika aku di panggil menghadap di kantornya. Ternyata itulah pesan terakhirnya untuk ku yang tak mungkin aku lupa. Rasanya aku menyesali semua perbuatanku selama ini. Aku menyesal tak pernah mendengar nasihatnya. Padahal semua itu dilakukannya karena ia ingin melihat kami menjadi anak yang sukses. Pak Roy, secepat itukah kau meninggalkan kami? Apakah kau tak ingin melihat kami menjadi anak yang sukses? Hari ini aku baru menyadari dibalik sikap kerasnya selama ini, dia menyimpan hati yang lembut terhadap kami. Perhatiannya ia tunjukkan dalam kedisiplinan sebagai tanggung jawab sebagai pendidik dan orang tua kami di sekolah. Namun kini ia telah pergi. Sosok bapak tiri itu telah tiada. Ia pergi meninggalkan kami dengan berjuta kenangan yang takkan ku lupa. Kini aku sadar betapa pentingnya setiap pesan atau pun kata-kata dari seseorang. Kita takkan pernah tahu, bahwa itu adalah pesan terakhir ataupun untuk keberapa kalinya. Namun kini aku berjanji akan mendengarkan nasehat dari siapapun dan berusaha menjalani hidup ku dengan sebaik-baiknya. Trima kasih Pak Roy. Namamu abadi dalam ingatanku.

SELESAI



0 komentar:

Tayangan halaman minggu lalu

Pengunjung Eka ^_^

 

Mind of eka Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea