Jumat, 18 Maret 2011

.:: JANUARI DALAM KELAM ::.

Diposting oleh miss_eka di 3/18/2011 07:47:00 AM
: Juara I Lomba Cerpen, Bastra Cup 2011 :


Dalam diam ini…..

Aku bernyanyi…..

Diantara jutaan pasang mata

Aku bagai seonggok sampah yang tak berarti

Di sini, di dalam ruang bertulis III A, semua cerita tentangku terjadi

Ingatkah kalian di sana ada seorang anak perempuan,

Yang entah mengapa sangat kalian benci..???

Apakah aku hanya dianggap kuman yang mengotori kelas ini?

Maka aku akan dan terus hinggap di otak dan jiwa kalian..

Mungkin kalian ingin aku pergi. Oke aku akan pergi.!!
Tapi kepergianku akan selalu kalian ingat, bahkan mungkin menghantui. Sehingga kalian tidak akan pernah lupa, ada seorang anak yang bernama: Januari.

Kendari, 10 November 2010


Itulah tulisan tangan Januari dalam sepucuk surat di saku baju yang ia kenakan pada tubuhnya yang sudah kaku. Januari, gadis malang yang sepanjang hidupnya kerap dikucilkan oleh teman-teman sekitarnya. Ia ditemukan tewas, tak bernyawa lagi di dalam kelas sekolahnya sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Dan bisa ditebak kejadian ini menggemparkan seisi sekolah, bahkan meyebar luas di kalangan masyarakat sekitar TKP.

Aku tak banyak mengetahui tentangnya. Dimataku, ia anak yang pendiam, yang memang agak aneh. Di kelas ia suka melamun, terkadang tertawa atau cemberut seorang diri. Pernah aku mencoba untuk menyapanya, namun ia hanya menganggapku angin lalu. Ya, sejak saat itu, aku pun tak pernah lagi menegurnya. Ia memang anak yang aneh. Ia seperti hidup sendiri dalam dunia pribadinya. Menurut cerita teman-teman, ia menjadi seperti itu lantaran orang tuanya yang bercerai. Ia menjadi stress dan suka menyendiri. Januari adalah murid baru di sekolah kami. Kabarnya ia pindah karena tak ada lagi anak yang mau menjadi temannya di sekolahnya terdahulu.

“Eh tau gak. Si Janu itu pindah lantaran gak tahan sama teman-temannya” Lala sahabatku membuka percakapan tentang Januari, ketika ia baru bergabung ke sekolah kami.

“Ah tau dari mana?”

“Dia itu teman sekelas sepupuku. Dia stress gara-gara perceraian kedua orang tuanya”.

Hm…kasihan juga mendengarnya. Tapi bagaimana lagi, dia juga seperti tidak mau membuka diri dengan orang lain.

Sore itu, dimana hari ia ditemukan tewas di kelas, ia pulang paling terakhir. Kebetulan aku dan beberapa teman mendapat tugas piket. Karena ingin membersihkan kelas, aku pun menyuruhnya segera pulang.

“Janu, kamu pulang aja. Kita mau bersihin kelas nih.”

Namun, dia tetap tak bergeming walau sudah kutegaskan beberapa kali. Entah apa yang ia kerjakan. Yang kulihat ia sedang menggambar orang yang ia beri nama mama,papa, dan Janu. Ukhhh,,,dasar..!!!

***

Sabtu pagi, suasana sekolah tak seperti biasanya. Di sekitar kelas III A melintas police line yang mengelilingi kelas itu. Di sekolah pun terlihat polisi-polisi yang sibuk menyelidiki dan mendeteksi semua barang yang bisa dijadikan bukti maupun petunjuk. Aku memandangi raut wajah teman-teman. Berbagai ekspresi ditunjukkan, ada yang terlihat takut, cemas, sedih, serta penasaran. Ya, peristiwa ini menyimpan sejuta misteri. Indikasi sementara Janu dipastikan tewas dengan cara menggantung dirinya sendiri di kelas. Namun, polisi belum bisa menyimpulkannya karena ada beberapa kejanggalan yang ditemukan.

Beberapa orang pun di panggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Termasuk aku. Ya, karena aku adalah ketua kelas yang mengetahui keadaan anggota kelasku, selain itu akulah orang yang sempat bertemu dengan Janu beberapa jam sebelum ia ditemukan tewas. Sebenarnya aku takut juga berurusan dengan polisi. Bukan apa-apa, melihat tampang mereka saja sudah menimbulkan rasa ngeri. Wajahnya tidak seram, tapi cara mereka mencurigai seseorang menimbulkan salah tingkah untukku. Dan sikap ini semakin menambah rasa curiga mereka terhadapku.

Selain aku, ada Imel yang juga ikut diinterogasi. Imel dicurigai karena ia dikenal tidak menyukai keberadaan Janu di sekolah. Ia selalu menjahili Janu. Entah karena apa, tapi Janu kerap dibuat menangis oleh ulah Imel. Aku masih ingat ketika Imel mempermalukan Janu dihadapan teman-teman kelas karena Janu mendapat nilai merah dalam ulangan Bahasa Indonesia. Bukan hanya itu saja Imel pernah menyiram Janu karena tidak sengaja menginjak sepatu Imel. Bahkan beberapa hari sebelum Janu tewas, Imel sempat mengunci Janu di dalam kamar mandi hingga jam pelajaran usai. Dan parahnya lagi tidak ada yang peduli dengan ketiadaannya itu.

Sebenarnya aku iba melihatnya kerap teraniaya. Tapi, aku juga kesal dengannya. Bukan hanya sekali ia membuat aku dongkol. Setiap hari kerjanya menggambar yang tak jelas di dalam kelas, setelah itu kertasnya dihambur sembarangan. Belum lagi barang-barangnya yang selalu berantakan, bahkan makan pun di dalam kelas. Dan hal yang paling aku benci darinya adalah, ia tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Keras kepala dan kerap memancing emosiku sebagai ketua kelas.

***
Satu-persatu kami ditanyai mengenai keterkaitan kami dengan Janu selama ini. Dan kini tiba giliranku untuk diinterogasi oleh pihak kepolisian. Aku berusaha menenangkan diriku. Tapi…rasa gugup seketika melandaku. Aku duduk tidak tenang, keringat mulai menetes dari sekujur tubuhku. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah katapun aku gugup. Oh…aku sama sekali tak menginginkan suasana ini. Suasana kantor polisi yang baru pertama kali aku rasakan membuatku tegang. Ditambah beberapa pasang mata yang menatap curiga seakan akulah tersangka pembunuhan itu. Belum lagi suara berat dan tegas dari para polisi membuat aku gemetaran tak tenang. Huuuhhhffttt,,sungguh perasaan yang tidak karuan.

“Dik, kami hanya ingin bertanya tentang sosok Januari selama ini. Menurut penglihatan kamu, bagaimana ia selama ini? Apakah ada hal-hal aneh atau misterius yang kamu ketahui tentangnya?”

Aku pun menceritakan sikap Janu yang ku kenal selama ini. Tapi, entah pengaruh angin apa, aku terbata-bata menjawab pertanyaan dari mereka.

“A..a..anu.. Janu…Janu… a..a..anak yang penuh misteri pak.”

Aku mulai mengeluarkan jawaban. Aku pun menceritakan semua yang ku ketahui tentang Janu. Sekitar dua jam aku dimintai keterangan sebagai saksi. Dan beberapa jam kemudian aku diperbolehkan pulang. Tiba di rumah aku masih merasa tak tenang. Entah mengapa perasaan cemas kini menghantuiku. Aku seperti orang yang dikejar-kejar rasa bersalah, entah karena apa. Aku jadi tak tenang belajar ataupun melakukan berbagai aktivitas lainnya.
Beberapa hari kemudian, ada kejadian yang cukup mengagetkanku. Lagi-lagi aku di panggil untuk memberikan keterangan seputar kasus kematian Janu. Rupanya keluarga Janu tidak terima atas kematian anaknya yang tidak wajar. Apalagi setelah hasil visum menyatakan bahwa Janu bukan tewas karena gantung diri, melainkan telah di bunuh sesaat sebelumnya.

Sungguh sadis orang yang melakukan hal itu. Janu diketahui tewas bukan karena gantung diri. Hal ini terindikasi oleh adanya temuan beberapa luka karena pukulan benda tumpul di bagian kepala. Selain itu di bagian tulang rusuknya juga mengalami cedera. Polisi menduga bahwa motif gantung diri hanya dijadikan kamuflase oleh tersangka untuk mengalihkan kecurigaan. Namun sayangnya hal tersebut bukan hal yang mudah. Selain itu tanda-tanda orang yang gantung diri tidak terdapat pada diri korban, misalnya lidah yang menjulur atau keluarnya kotoran di dubur korban.

Tapi, mengapa aku harus kembali ke kantor polisi. Apakah polisi mencurigai ku? Tidak, ini tidak mungkin.!!
Kecurigaan polisi emang mengarah kepada teman-teman sekolah korban. Tidak ada lain, karena Janu ditemukan tewas di sekolah kami. Dari cara pelaku melakukan pembunuhan, terlihat tidak profesional. Teknik yang digunakan untuk mengelabui orang lain masih awam, sehingga kecurigaan polisi mengarah ke teman-teman korban karena Janu dikenal dimusuhi oleh teman-temannya.

***

Aku tak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Seminggu setelah aku dipanggil lagi ke kantor polisi, aku kembali harus ke kantor polisi. Tapi bukan sebagai saksi. Melainkan sebagai: TERSANGKA.!! Tentu saja aku shock, begitupun dengan keluargaku.

“Gak mungkin pak. Anak saya gak mungkin melakukan hal itu”.

Terdengar suara mama yang memilukan tak percaya dengan kejadian ini. Namun semuanya telah terjadi. Aku tak menyangka di penghujung SMA ini, aku harus mendekam di balik jeruji besi. Aku benar-benar hancur, tak kuasa menerima cobaan ini. Belum lagi jika membayangkan persidangan yang harus aku jalani sebelum resmi menjadi tahanan di Lembaga Pemasyarakatan.

Hari-hari ku lalui dengan menyedihkan. Keluarga, teman-teman, dan kerabat dekat satu persatu mengunjungi ku. Banyak orang tak menyangka aku melakukan ini. Aku pun tak bisa berkata-kata lagi. Aku pasrah menunggu vonis apa yang akan aku dapatkan. Benar-benar memalukan, bukan hanya mencoreng nama keluarga namun menjadi bahan gunjingan di seantero kota, apalagi menjadi headline di koran:
SEORANG SISIWI SMA TEGA MENGHABISI NYAWA TEMAN SEKELASNYA”.

 
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Beberapa persidangan telah aku lalui. Rasanya tak ada harapan lagi. Jangankan untuk mengikuti Ujian Nasional, untuk keluar menghadapi dunia pun aku tak sanggup. Aku pasrah menerima semua ini. Walaupun keluargaku tetap tak yakin aku bersalah, dan terus berjuang agar aku bebas dari hukuman yang berat. Dan hari ini adalah hari yang dinanti. Hari ini adalah sidang terakhir, dimana agendanya adalah pembacaan putusan vonis dari hakim.

Rasa panik, deg-degan, takut, was-was berkecamuk dalam hati semua orang yang berada di dalam ruang sidang. Dari beberapa meter di sudut sana, aku melihat mama yang tak henti mengeluarkan air mata. Matanya sembab karena tak henti menangis. Tubuhnya pun terlihat turun drastis. Sementara papa, ia juga terlihat shock atas kejadian yang menimpa putri sematawayangnya ini. Aku pun tak tahu harus berbuat apa. Seolah dunia menghujam ku. Apalagi jika ku lihat wajah keluarga Janu. Oh…sungguh aku tak berani mengangkat wajahku kea rah mereka. Dan hakim mulai membacakan satu persatu yang harus ia baca hari itu. Mulai dari BAP, dan segala kronologis termasuk pembacaan keterangan dari para saksi.

Semua kecurigaan mengarah kepada ku. Di mulai dari tulisan tangan yang ditemukan di saku baju Janu. Polisi mencocokkan tulisan tersebut dan hasilnya itu memang 87 % memiliki kemiripan dengan tulisan tanganku. Selain itu beberapa bukti seperti sidik jari pada gagang sapu yang diduga dipakai untuk memukul kepala Janu juga terbukti adalah sidik jariku. Semua…semua hal mengarah kepada ku. Dan aku pun telah mengakuinya. Yaa..mengakui perbuatanku. Aku memang kesal tehadap Janu hari itu. Sudah berkali-kali aku dibuat kesal oleh ulahnya. Sebagai ketua kelas aku merasa tidak dihargai. Aku benci,… sangat benci. Hingga aku khilaf dan nekat menghabisi nyawa Janu tanpa berpikir akibat yang aku dapatkan nantinya. Aku menyesal, namun terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, bubur basi yang tak bisa dimakan kembali. Janu telah pergi dan meninggalkan cerita miris dari seorang anak yang menjadi korban kejamnya dunia.

Detik-detik pembacaan vonis pun dimulai. Dengan hati yang tak menentu, aku mencoba menyimak apa yang disampaian hakim ketua. Dunia rasanya menyempit, namun aku masih ingin mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir majelis hakim. Aku masih berharap ada keadilan untukku, walau ku tahu aku sudah tak adil terhadap Janu. Maafkan aku Janu, aku khilaf, aku menyesal melakukannya. Entah setan apa yang merasukiku hari itu. Bahkan kau meronta pun aku sama sekali tak memperdulikannya, tetapi saat itu kurasa setimpal ketika kau tak pernah mau memperduliakn perkataanku.

“Saudari Putri Laksmini, tersangka kasus pembunuhan terhadap alm. Adinda Januari Jelita yang telah terbukti melakukan kesalahan, berdasarkan beberapa bukti serta saksi-saksi, maka dengan ini majelis hakim memutuskan hukuman……….”

Seketika hening. Mungkin hakim pun tak tega membacakan hukuman tersebut kepada ku. Tapi, hal tersebut semakin menambah keyakinan bahwa hukumanku pasti berat.!! Dan aku masih terus berusaha dengan sisa tenaga untuk mendengar lanjutan dari putusan tersebut. dan hasilnya adalah:

“Saudari Putri Laksmini anda dijatuhi hukuman mati…!!!”


Tidaaaaakkk..!!!
Aku tidak percaya. Tidak mungkin. Tak kusangka hakim akan memenuhi tuntutan hukuman yang diajukan pihak keluarga Janu. Apakah tidak ada pertimbangan untukku? Mengapa harus mati bayarannya? Tuhan tolong aku.. dunia rasanya hilang, aku tak dapat lagi merasakan pijakanku sendiri. Belum lagi kudengar jerit dari keluarga ku, mama,,papa, dan semuanya. Aku berontak.. aku berteriak sekeras-kerasnya dihadapan semua orang. Semua orang terpana. Antara iba dan tak percaya aku sehisteris itu.

“Ini tidak adil. Kalian menghancurkan masa depanku. Menghancurkan keluarga ku!! Tidaaaaaaakkkkk..!!!!”

. Seketika itu aku berontak. Aku menjadi liar. Tak kuhiraukan lagi polisi-polisi yang menghalauku. Aku mengamuk sejadinya. Entah apa tanggapan orang-orang. Bagiku mati sudah di depan mata, cepat atau lambat. Dan rasanya aku ingin segera menemui regu tembak itu.

“Tembak aku…tembakk akuuuuuuu..!!!”

***

Semua penonton berdiri dan bertepuk tangan. Suara mereka riuh rendah dengan wajah yang nampak kagum. Satu per satu menyalami ku, sebagai pemeran tokoh Putri, tersangka kasus pembunuhan terhadap teman sebayanya. Mereka terlihat terhibur dengan akting perdanaku dalam film yang berjudul:
Januari dalam Kelam.

:: cerpen kuu,,buat BAstra Cup 2011

0 komentar:

Tayangan halaman minggu lalu

Pengunjung Eka ^_^

 

Mind of eka Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea