Sabtu, 24 Desember 2011

Aku Hanya Ingin…..

Diposting oleh miss_eka di 12/24/2011 08:39:00 PM


            “Amin…”
            Kata yang selalu kusebut di ujung doaku. Tentu saja berharap apa yang aku panjatkan pada-Nya bisa segera dikabulkan. Meski aku tahu Tuhanku pasti akan mengabulkan doaku, cepat atau lambat. Tapi tentang doa yang satu ini, yang kerap kupanjatkan disetiap sembahyangku, apakah Ia akan mengabulkannya?

            “Nis…ada telepon tuh buat kamu.”
            Segera aku meraih gagang telepon yang berada tepat di samping televisi.
            “Halo..” kataku memulai percakapan dengan seseorang di ujung sana yang belum ku ketahui.
            “Hai Nis…lagi ngapain?”
            “Heh…ini Panca?”
           
“Iya…kenapa kaget, gak suka ya aku telpon?”
            “Ya enggak lah. Heran aja, kok gak lewat HP aja sih. Lebih pribadi.”
            “Ya makanya itu, aku dari tadi udah sms, gak dibales. Ditelepon berkali-kali juga, enggak diangkat. Saking paniknya, ya udah telepon ke rumah kamu aja.”
           
            Namaku Anisa. Cewek berkacamata minus dengan jilbab yang selalu menutupi kepalaku. Sepintas, orang mungkin akan menganggapku cewek yang fanatik, yang ketat dengan berbagai aturan di dalam agama yang aku anut. Tetapi bagi mereka yang mengenalku sejak beberapa bulan ini, pandangan mereka mungkin agak sedikit bergeser. Bahkan terjungkal, dari yang menyimpan simpatik tinggi atas ketaatanku beragama, berubah menjadi memandang aneh dan sedikit tidak masuk logika.
           
            “Kamu masih berhubungan sama dia Nis?”
            “Eh, dia siapa bu?”
            “Yang telepon siang tadi, Panca kan?”
***
           
            “Amin…”
            Lagi-lagi kututup doaku dengan kalimat itu. Seperti suatu keharusan yang menyimpan pengharapan agar doaku akan cepat terjawab. Iya, kali ini aku mungkin pesimis. Yakin Tuhan akan menjawab doa ini dengan kenyataan yang menyakitkan bagiku. Siang itu, aku baru selesai melaksanakan shalat di musholah kampus. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan mushola, tampak olehku sosok yang tak asing bagiku. Sosok yang menjungkalkan akal sehatku, sosok yang dilematis dalam hidupku, keluargaku, dan lingkunganku. Dialah Panca, sosok yang selalu berkeliaran di pikiranku, seorang lelaki dengan kalung salib di lehernya
            “Sudah kelar sholatnya?”
            “Iya udah.”
            “Pulang bareng yuk?”
            “Hah? Bareng. Ngaco ya? Apa kata dunia kalo aku diantar pulang sama kamu?”
            “Ups…maaf..aku khilaf hahaha.”
            Sikap Panca memang selalu mendatangkan kejutan. Bukan satu kali ia melontarkan pernyataan-pernyataan mengejutkan itu. Seakan kita berada di dalam dunia yang sama. What? Apakah dunia kami berbeda? Hanya gara-gara aku muslim dan dia nasrani? Tuhan, aku yakin hanya Engkau satu-satunya yang patut disembah. Allah swt. Dialah sang pencipta, sang penguasa yang Maha Esa. Tapi perbedaan ini, perbedaan keyakinan diantara kami, haruskah mengorbankan perasaan yang tak sengaja lahir dari perkenalan kami, yang pasti telah Engkau atur sebelumnya?
            Aku sendiri bingung, mengapa harus Panca Ya Allah. Sudah kucoba untuk mengusir perasaan ini, tapi selalu saja ada kesempatan yang mengembalikan perasaan itu padaku. Lalu, siapa yang merencanakan itu semua?
            Sore itu, Panca mengajakku bertemu. Lagi-lagi aku turut saja ketika dia mengajakku menikmati bakso di tempat favorit kami. tempat yang menyimpan banyak momen-momen manis di antara kami. Walau hanya sekadar bertukar ide-ide gila tentang kehidupan, saling bertukar senyum, hingga sesekali ia lemparkan tatapan yang membuat pipiku memerah, semerah senja yang selalu menanungi kebersamaan kami.
            “Bu, Nisa pergi bentar ya.”
            “Mau kemana toh nduk? Sudah sore.”
            “Em, cuman makan bakso kok bu. Habis itu juga langsung pulang kok.”
            “Bakso ya? Sama Panca?” tatapan Ibu sangat menusuk jika ia mengucapkan nama Panca.
            “Kenapa sih bu. Aku juga hanya makan-makan. Gak macam-macam bu.”
            “Bukan masalah itu nduk. Ibu percaya sama kamu. Tapi ingat kan, dia itu berbeda. Dan ibu tahu rasa itu telah tumbuh di hatimu. Jangan sampai rasa yang telah tumbuh itu berkembang dan menghasilkan buah yang haram di mata agama kita.”
            Ah…ibu. Perempuan yang selalu mendukungku. Tapi kali ini, aku kehilangan rangkulan ibu. Di saat aku bingung menghadapi dilema ini, ibu terus mencecarku dengan berbagai pernyataan yang menyakitkan. Aku tahu ibu hanya mengingatkan, tapi tidakkah ia memikirkan perasaanku? Perasaan yang mungkin pantas aku sebut cinta.

***
            Semakin hari, aku semakin dilema. Tak mungkin kami melanjutkan hubungan dengan keadaan seperti ini. Tapi, bagaimana dengan perasaan diantara kami. sungguh aku tak tega membunuh perasaan ini. Bukankah kejam, orang yang menjadi pembunuh atas perasaannya sendiri?
            Malam itu, Panca memintaku menemaninya menyiapkan pernak-pernik natal. Hari minggu besok adalah 25 Desember. Hari dimana Panca dan umat yang seiman dengannya merayakan hari besar agama mereka. Aku tak banyak paham tentang natal. Yang aku tahu, itu adalah hari besar kaum nasrani. Sungguh aku tak ingin merusak kebahagiaan Panca. Aku melihat matahari di matanya. Tapi, desakkan dari lingkungan sekitarku terus bergejolak. Harus Nisa, kau harus bisa mengatakan hal itu secepatnya!
            “Nis, besok kamu ke rumah ya. Nanti kamu bisa nyobain masakan special natal buatan mamaku.”
            “Masakan natal ya?” aku hanya menjawab dengan lirih. Ya Allah, apa aku sudah kehilangan akal sehat. Aku tahu hal itu akan mengundang kontroversi. Bagaimana kalau ibu tahu. Jangankan mencicipi masakan mamanya, bahkan sekadar mengucap marry Christmas saja aku tak bisa.
            Siang itu, aku memenuhi undangan Panca. Entah apa yang ada di pikiranku kala itu. Aku mengunjungi rumah Panca tepat di tanggal 25 Desember. Aku sangat merasakan kehangatan keluarga Panca yang larut dalam suka cita natal. Melihat pernak-perniknya yang meriah, warna-warni menghiasi pohon natal serta berbagai kado yang menjadi perebutan anak-anak di rumah Panca yang menambah keceriaan natal di keluarga Panca. Semua bahagia, semua tertawa dan bernyanyi namun tetap terasa syahdu. Aku pun turut mencicipi hidangan natal. Tak ada perasaan takut atau ragu. Karena mereka tak mungkin menyediakan hidangan yang haram bagiku. Keluarga Panca paham betul dengan perbedaan yang ada padaku dengan keluarga mereka. Seorang gadis berjilbab yang berkunjung di rumah lelaki dengan kalung salibnya.
            Diantara keceriaan itu, tiba-tiba kumandang adzan menggema. Seakan menyadarkanku, hei Anisa di mana tempatmu? Ya, aku tahu aku sudah dipanggil untuk kembali menghadap kepada Allah. Kembali untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslimah. Seketika aku bingung. Mana mungkin di sini ada alat sholat. Salahku juga tidak membawa perlengkapan sholat.
            “Panca, aku ijin pulang ya.”
            “Yah, Nisa kok buru-buru banget?”
            “Sudah dzuhur Ca. kamu ngerti kan?”
            “Oh sholat ya. Em, gimana kalo aku anter ke masjid aja. Di dekat sini ada mesjid kok.”

            Agak tercengang juga ketika sampai ke masjid yang Panca maksud. Di depannya berdiri sebuah rumah ibadah yang berbeda dengan rumah ibadah yang kutempati saat ini. Ya, di depan masjid yang kusinggahi ini, berdiri sebuah gereja, sebuah rumah ibadah yang tak akan pernah kumasuki sampai kapanpun. Ah, agama. Ya Allah, begitu banyak misteri yang sulit untuk kucerna. Semua ini sangat menyesakkan bagiku.
            Tak ingin terlalu larut dalam pikiran membingungkan itu, segera kuselesaikan kewajibanku siang itu. Usai shalat, kulihat Panca masih setia menungguiku di halaman masjid.
            “Udah shalatnya Nis?”
            “Iya, udah. Thanks ya.”
            “Thanks buat apa?”
            “Ya, buat masjidnyalah. Thanks udah nunjukin tempat buat aku ibadah.
Panca hanya tersenyum mendengar perkataanku itu.
            “Panca, hari ini aku senang deh. Bisa ikut melihat keceriaan natal di keluarga kamu, tapi tetap bisa juga menjalankan kewajibanku. Haha, gila ya aku.”
            Namun, panca hanya diam. Seakan dia tak menggubris pembicaraanku.
            “Panca, kamu kok diam sih. Denger aku ngomong gak?”
            “Nis, kira-kira bisa gak kita bersatu?”
            Pernyataan itu. Lagi-lagi ia selalu mengutarakan hal yang mengguncang dan mengaduk-aduk perasaan ini.
            “Kalau seandainya hal itu terjadi, kita tinggalnya di deket sini aja Nis. Jadi aku bisa dekat ke gerejanya, kamu juga bisa ke masjid kan?”
            “Panca…kamu sadar gak sih. Kita itu beda Ca. kita gak akan bisa mewujudkan hal itu.”
            “Tapi Nis….”
            “Ssstt…udah panca. Kita jangan bahas ini sekarang. Yang pasti aku senang dengan kebersamaan kita selama ini. Suatu hari nanti Tuhan pasti akan menjawab semua teka-teki ini. Aku sendiri belum tahu, akan kemana hubungan yang udah kita jalani ini. Yang pasti apapun yang akan terjadi nanti, kamu janji gak akan benci sama aku ya?”
           
            Percakapan sore itu mengalir apa adanya. Semua terasa lepas. Kini aku sadar tak mungkin bersatu dalam ikatan yang suci bersama Panca. Agak janggal kurasakan semuanya. Hanya karena agama, kami tak bisa mewujudkan mimpi kami. Tapi, apakah baik jika kami menentang agama hanya karena keegoisan yang mengatasnamakan cinta? Bukankah cinta mengajarkan kebaikan?
            Sore itu betapa ingin aku menemani Panca. Tapi aku sadar kami berbeda. Kami harus terpisah oleh sesuatu yang mereka sebut agama. Agama ataupun keyakinan. Di negaraku ini, Indonesia mengakui lima agama dengan keyakinan masing-masing. Semua terbagi dan diikat oleh persatuan yang kami sebut toleransi. Bukankah garuda yang gagah telah mencengkeram semua kepercayaan itu dalam bhineka tunggal ikanya? Bagaimanapun cara kami beribadah, tapi aku pun yakin Tuhan hanya satu. Dialah yang Maha Esa.
            Hari ini tepat 25 Desember, aku melihat natal di mata Panca. Natal yang tak mungkin aku hapus, hanya karena ingin memenangkan perasaan yang masih bayi diantara kami. Sore itu Panca mengantarku kembali ke rumah. Dengan latar belakang agama yang ku anut, tak mungkin aku mengucap selamat untuk hari yang ia rayakan hari ini. Tapi, atas nama Pancasila, bolehkah aku mengucap selamat untuk hari yang membahagiakan bagi orang yang aku syang? Ah, Panca….apapun yang kau lewati hari ini aku hanya ingin……aku hanya ingin mengucapkan selamat hari minggu Panca. Semoga weekend ini menyenangkan bagi kita semua.

Notes: Cerita ini fiktif belaka yaa..Happy writibg all :))

0 komentar:

Tayangan halaman minggu lalu

Pengunjung Eka ^_^

 

Mind of eka Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea